Satu Lagi penyair Ganteng dan cerdas dari Ambon tak ketinggalan menulis untuk Indonesia dalam Kita Dijajah Lagi, sapa lagi kalu bukan Ecko Saputra Poceratu
Eko Saputra Poceratu
Ketika Orang Buta untuk Membaca
Keadilan
Aku duduk di kursi sekolah dan menatap ke
depan dengan sungguh-sungguh
Untuk mengerti mengapa kita mesti belajar
Bahwa mengapa kita memikirkan masa
depan
Sementara negeri kita belum merdeka
Dengan menulis pun belum tentu aku
mengerti
Dengan membaca belum tentu aku
memahami
Maka biarlah kami cukup mencari ikan
untuk dimakan
Dan menanam ubi untuk dijual
Demi membeli seragam
Lalu kembali ke sekolah
Duduk dengan tegang
Menerima ilmu yang kelak dipakai entah
untuk menjajah siapa
Sedang buku dan pena aku tak punya
Sementara di kota-kota besar orang
menukar janji dengan tulisan di atas kertas
putih
Tanah dicuri di atas kertas putih
Sementara politisi menebar dusta untuk
merebut posisi
Orang belajar membaca huruf dan pandai
namun pada akhirnya tak bisa membaca
ketidakadilan
guru meniduri murid
dosen meniduri mahasiswa
pejabat meniduri pegawai negeri sipil
dan mereka tak bisa membaca diri sendiri
maka lebih baik aku menjadi anak pantai
yang mampu membelah samudera dengan
cinta
atau anak gunung yang setia mencintai alam
dengan senyuman serta nyanyian-nyanyian
sumbang di desa
supaya aku tidak perlu belajar menipu
dengan kata atau dengan angka
seperti mereka yang duduk di belakang meja
berdiskusi dan merapatkan kening untuk
seterusnya membalik meja itu juga
ubi jalar lebih bisa mengerti arah
perjalanannya sendiri
maka lebih baik aku hidup dengan hati yang
besar
demi mengalahkan nafsu yang sarat
nafsu yang dipakai pembesar untuk
menikam jantung kami
lalu darahnya dipakai untuk menulis di
papan sejarah
Awunawai, 30 Agustus 2017
Eko Saputra Poceratu, lahir di Tihulale 2 Mei 1992. Tinggal di Ambon dan melakukan kegiatan sastra di sana dengan beberapa komunitas seni dan para penyair lokal.
Eko Saputra Poceratu
Ketika Orang Buta untuk Membaca
Keadilan
Aku duduk di kursi sekolah dan menatap ke
depan dengan sungguh-sungguh
Untuk mengerti mengapa kita mesti belajar
Bahwa mengapa kita memikirkan masa
depan
Sementara negeri kita belum merdeka
Dengan menulis pun belum tentu aku
mengerti
Dengan membaca belum tentu aku
memahami
Maka biarlah kami cukup mencari ikan
untuk dimakan
Dan menanam ubi untuk dijual
Demi membeli seragam
Lalu kembali ke sekolah
Duduk dengan tegang
Menerima ilmu yang kelak dipakai entah
untuk menjajah siapa
Sedang buku dan pena aku tak punya
Sementara di kota-kota besar orang
menukar janji dengan tulisan di atas kertas
putih
Tanah dicuri di atas kertas putih
Sementara politisi menebar dusta untuk
merebut posisi
Orang belajar membaca huruf dan pandai
namun pada akhirnya tak bisa membaca
ketidakadilan
guru meniduri murid
dosen meniduri mahasiswa
pejabat meniduri pegawai negeri sipil
dan mereka tak bisa membaca diri sendiri
maka lebih baik aku menjadi anak pantai
yang mampu membelah samudera dengan
cinta
atau anak gunung yang setia mencintai alam
dengan senyuman serta nyanyian-nyanyian
sumbang di desa
supaya aku tidak perlu belajar menipu
dengan kata atau dengan angka
seperti mereka yang duduk di belakang meja
berdiskusi dan merapatkan kening untuk
seterusnya membalik meja itu juga
ubi jalar lebih bisa mengerti arah
perjalanannya sendiri
maka lebih baik aku hidup dengan hati yang
besar
demi mengalahkan nafsu yang sarat
nafsu yang dipakai pembesar untuk
menikam jantung kami
lalu darahnya dipakai untuk menulis di
papan sejarah
Awunawai, 30 Agustus 2017
Eko Saputra Poceratu, lahir di Tihulale 2 Mei 1992. Tinggal di Ambon dan melakukan kegiatan sastra di sana dengan beberapa komunitas seni dan para penyair lokal.