Sabtu, 10 Oktober 2015

Puisi-puisi Chairil Anwar


AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
 Tak perlu sedu sedan itu
 Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
 Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943



 PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
 Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno !
Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal¬kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal¬kapal kita bertolak & berlabuh

(1948) Liberty, Jilid 7, No 297, 1954


56

 KRAWANG ¬BEKASI
Kami yang kini terbaring antara
Krawang¬Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
 Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4¬5 ribu nyawa
Kami cuma tulang¬tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang¬tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa¬apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang¬tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang¬Bekasi

 (1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957



DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU Ini barisan tak bergenderang¬berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti Sudah itu mati.
MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai
Maju Serbu Serang Terjang

(Februari 1943) Budaya,Th III, No. 8 Agustus 1954

PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda¬pemuda yang lincah yang tua¬tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang¬bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...... Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948) Siasat, Th III, No. 96 1949


MALAM

Mulai kelam belum buntu malam
kami masih berjaga ¬¬Thermopylae?¬ ¬
jagal tidak dikenal ? ¬
 tapi nanti sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11¬12 20¬30 Agustus 1957


DOA

kepada pemeluk teguh
Tuhanku Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh mengingat
Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku aku hilang bentuk remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling

 13 November 1943



PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk!
Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

HAMPA
kepada sri Sepi di luar.
Sepi menekan mendesak.
kaku pohonan.
Tak bergerak Sampai ke puncak.
Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas¬renggut
Segala menanti.
Menanti.
Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat¬mencekung punda
Sampai binasa segala.
Belum apa¬apa
Udara bertuba.
Setan bertempik Ini sepi terus ada.
Dan menanti.

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
 Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita
Mati datang tidak membelah...



SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan.
Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
 Tiada lagi.
 Aku sendiri.
 Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946



CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
 di leher kukalungkan ole¬ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
 "Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau, kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
 1946




MALAM DI PEGUNUNGAN
 Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
 Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
 malam tambah merasuk,
 rimba jadi semati tugu di Karet,
 di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin aku berbenah dalam kamar,
 dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri,
cerita dan peristiwa berlalu beku
 1949

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin
yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
 sudah berapa waktu
bukan kanak lagi
 tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan
kini hidup hanya menunda kekalahan
 tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu,
ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949