Jumat, 03 Januari 2020

67 Iwan Bonick : Today is August 1, 2019

Today is August 1, 2019

Coincides with the beginning of the month of Indonesian Independence

The Red and White Saka
Has flown
Tied tightly at the end of the bamboo of the former Agustusan flagpole last year

The color has faded a little
Still flying
And bring word
About those who sprawl
Because you want to stand tall
Not because of hunger
Especially for merchants
Who forgets the roots

And U.S
Raise your fist
Shouts of "Merdeka"

"Freedom" is not a question
"Freedom" is not asked
"Freedom" is not a question

"Independent"
Be truly independent

Thursday Pahing, 1 August 2019
Kp Teluk Angsan Bekasi

68 Emby Bharezhy Boleng Metha: The Proclamator's Footprint

The Proclamator's Footprint

Ende,
Isolated flower island
Is a small Soenda
Standing between three volcanoes
In the swift currents of the Indonesian Ocean currents
and the depth of the sawu sea

Ende,
In the body of your soul
I remember a name,
The name of the Indonesian proclaimer

1934, at that time
Jan Van Riebeeck moored in an old pier
After a few days sailing, against the ferocious blue storm

Then,
You put your feet
With your mother, your wife,
and your adopted child
That day also,
You made the beginning of the story
From the story of your exile

Foreign,
Maybe the word is worth saying
Because there are no relatives, here
Nor are the natives
But prisoners only
However,
You are not broken direction

Time elapsed
The days are running properly
Seconds, minutes, to hours
Also began to be friends

Now
The spy has seen your presence
The ears have heard you coming
Why are you still pondering?

1938, four years later
You make the end of your story of exile, here
On hard ground, full of tolerance between people

Tears are falling
Cultivate the flowers of sadness
Real depicted in spies
Witnessed your departure

~ Words
East 2019


69. Alhendra Dy Painting of Independence

Painting of Independence

I want to paint furiously
On a canvas made from soul skin
I will shed blood for red
Then I mashed the bones to white
Bile for black
A dream for her ashes.

I want this painting already
Even though the mind is sore
Let it be born in poignant scaffolding
I want you to understand
That I'm holding a grudge
Not sad.

I have to finish it
While breathing is left
In order to die calmly
And regret does not move
Then,
I hang in the highest arasy
A form of evidence,
That is great
Need sweat need tears
Not puja
Not praise.

Later enjoy strong
Cast me to the bottom of servitude
Meskipum never mind awakening
Because,
In every bloodstream
Still there is pride there is hypocrisy.

Jambi, Bangko July 31 2019

Alhendra Dy, aged 48, is a resident of the village of Bangko-Merangin-Jambi. Since 1990 they have been willing to dedicate their age to art and art. The caretaker of the Merangin Kreativ art gallery. His poetry is spread in various anthologies, both single and together.




70. Meita: A handful of Independence Prayers

A handful of Independence Prayers


Upright,
Although now the cry of independence is not as red as before
Although the rush of rousing did not happen at that time
But blood is still red, and spirit is still growing

Shabby,
Fabric flag on the height of the pole
It will not prevent millions of prayers
For the establishment of a great beloved nation Indonesia

Take a look
Footsteps still echoed
The song of victory is so perfect
And hope will always be there

My bow
On the creator miss
It will smell nice of your name
In every heart of your inhabitants ... my Indonesia


Meita, or commonly called Mey, is a person who has a hobby of writing since around 2012 ago. The ideas of his writings are contained in his Facebook notes. His interest in poetry is because by poetry we can channel all emotions, sadness, happiness through scribbles which incidentally can entertain readers.

71. Sudarmono: Dignity Travel

Dignity Travel

Maybe I was thrown
on the lips of millennial century
down a silent hallway
crystallized in a crowded world

I'm not complacent
city noise that appears
no sign of anything
until peace turns anger

I feel we have an essential reason
for capital to earn a fortune
ignored self-respect anymore
depraved dignity to death

This is the name of travel history
among a group of people
to analyze the forms of civilization
failed ancestral message in sublime intentions

North Tambun, July 16, 2019









Sudarmono / Raden Mas Sudarmono, born in Bantul Yogyakarta 11 October 1963, art began in high school and when he joined the Yogyakarta Dynasty Theater, the Bantul Theater Society and the Indonesian People's Theater Group, PMK activists reject poetry. These social writings were widely published in regional and national newspapers , while his poetry writings are widely recorded with other Nusantara Poets, to this day he is still listed as a Member of the Board of the Bekasi Regency Arts Council, Literature and Theater Committee, author's work and works in the Tambut Bekasi Mendut Community



72. M Dhaun El Firdaus : For the sake of blood

For the sake of blood

In the dark before me
Accompanied by the dry wind
Memories leaning on the shoulders of the past
History tells the story of your struggle of grief

Not just a fairytale
About you strung together beautiful narration
The sincerity of love tells a story
Implies the meaning of true sacrifice

Treasure, family you are willing to leave
Sweat, you shed blood
For the sake of preserving the motherland
Shortly after independence was declared

The battle is not over yet
Still free to act
Even slander still ranks
Real enemies camouflage in cyberspace

For the sake of the blood that runs through my body
On behalf of the Beloved, the Eternal
I continued to defend the independence of truth
I aim for belief with "Death to heaven, victorious!"
Kebumen, August 1, 2019

73. Rg Bagus Warsono: I'm ashamed

I'm ashamed

When we teach there are 27 provinces
The next day how embarrassed the teacher turned out to be 26 provinces.
When a veteran proudly shows a shooting mark
talk excitedly with invalid legs
wall full of photos
memurura award
keep the uniform of pride
lots of memories,
then patting his chest 'because of who if not us
desperate tomorrow
they are no longer proud of the republic.
and my heart says:
You're not a hero, just a loser.
Indramayu, 11-09-19

Minggu, 29 Desember 2019

Kilas Balik Sastra Indonesia 2019 (2)

Sementara penyair2 Indonesia masih tetap eksis dalam tahun politik yang sangat panas. Komunitas-komunitas penyair menampilkan isi yang tak bersinggungan dengan politik di tahun ini.

Komunitas aktif masih terlihat pada komunitas-komunitas nasional lama seperti Puisi Menolak Korupsi (Solo), Warung Apresiasi (Bulungan), TIM, Negeri Poci (Tegal) , Dapur Sastra (Jakarta) Lumbung Puisi ( Indramayu), Yayasan Hari Puisi Bekasi , Tembi Solo, Kindai Sastra (Banjarbaru), Bengkel Sastra Taman Maluku (Semarang), dan lain-lain.

Kegairahan pelaku sastra itu tampaknya juga semu seakan hanya untuk mengisi kegiatan ini dapat dilihat dari pada berita yang ditimbulkan kurang mendapat komentar dari masyarakat pecinta sastra. Meski belum bisa dikatakan bosan, mereka yang kita sebut sebagai pejuang-pejuang sastra itu patut mendapat acungan jempol karena merekalah yang memelihara sastra Indonesia.

Dalam tahun panas ternyata juga melahirkan banyak puisi yang di terbitkan dalam bentuk antologi baik tunggal maupun bersama. Puisi yang terbit dalam antologi-antologi itu belum mendapat sambutan masyarakat. Ini disebabkan juga karena perhatian masyarakat yang mau tidak mau digiring ke dalam wacana politik negeri ini.

g. komunitas

Hoax menjadi trend utama negeri, puisi pun banyak yang tercipta bertema melawan hoax, namun juga tetap tak mampu menggelegar sehebat hoax. (Bersamung . Rg Bagus Warsono Kilas Balik Sastra Indonesia 2019)

Kilas Balik sastra Indonesia 2019

2019 di Sisi Penyair:

Puisi Indonesia terus bergolak mengiringi tahun politik bangsa ini, seakan menjadi saksi sekaligus pelaku politik yang terlibat bersama sama rakyat untuk menentukan masa depan negeri ini. Penyair Indonesia dengan bahasanya menjadi saksi utama di tahun yg menentukan itu.

Gonjang ganjing peristiwa politik menjadikan perubahan pada karya karya penyair Indonesia. Yang acuh tak acuh disebut penyair buta tuli. Yang berpihak disebut penyair salah kaprah, dan yang independen disebut penyair tak punya pendirian atau penyair bingung (istilah penulis)

Rupanya perubahan itu menjadi menjadi ragamnya karya cipta puisi di tahun 2019. Karya-karya tersebut jelas tidak menjadi universal atau menjadi karya yang agung. Disamping ragamnya yang beraneka iklim negara ini tak membuat karya cipta melahirkan yang agung
.
Puisi puisi penyair oleh para penyair di 2019 yang penulis istilahkan di atas hanya sebatas menyindir, lempar batu, separo hujat dan sepro puji, kebingungan dan juga potret tragedi yang terabaikan dari hiruk pikuk ramainya isu politik .

Penulis tidak menyoroti karya untuk hal suasana panasnya suhu politik tetapi akan menyoroti beberapa karya penyair yang patut mendapat apresiasi tinggi yaitu penyair dan puisi yang jeli melihat sisi yang dilupakan dan ditinggalkan di sudut negeri di sudut peristiwa.
Di awal tahun 2019 hingga pertengahan puisi puisi tercipta dalam
kelahirannya termasuk kegiatan yang mengiringinya tak mendapat respon dari masyarakat. Keadaan ini disebabkan banyaknya isu hoax yang ramai dimasyarakat. Tak jarang puisi 2019 seperti pelaku pelaku politik semua hanya 'pencitraan . Bersambung ! (Rg Bagus Warsono kilas balik sastra Indonesia 2019)

Jumat, 27 Desember 2019

Pertemuan itu Seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah, (10)

Semoga dapat berkunjung kembali,

Daerah yang baru di injak penyair kadang membuat kesan tersendiri, Wajar para penyair adalah orang-orang yang suka berkelana dan berpergian. Tempat yang berkesan adalah sumber inspirasi cipta.

Harapannya semoga dapat berkunjung kembali bila masih ada temu. Jika Tuhan menghenfdaki, jika ada kemauan dan jika konsekwen dalam perkataan dan perbuatan serta jika berniat baik. Kita bisa bertemu dengan teman-teman yang baik dan betul-betul penyair yang mengerti penyair.

Evaluasi terus dilakukan untuk pertemuan Kecil Lumbung Puisi selanjutnya. Menatap tahun 2020 kita harus lebih bagus lagi garapannya. Dukunhgan sahabat dan doa restu semuanya akan terwujud. Tentu hanya dari orang-orang yang memegang komitmen jati dirinya sebagai penyair.

(rg bagus warsono, 23-12-2019)

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(9)

Tak Ada Ular Salak,

Setelah puas dikebun kami sekaligus bersilaturahim sesama peserta, kami bersiap-siap untuk pulang kerumah- masing-masing. Dikebun ternyata tak ada ular salak yang ditakuti peserta, kecuali duri pohon salak. Alhamdulillah tidak ada yang tertusuk duri ada juga yang tertusuk cinta. "Ya Cinta di Kebun Salak".

Setelah acara penutupan kami makan siang dan bersiap-siap pulang. Seakan ingin lama-lama berada di Rumah Mbak Anisah Ibu . Bukan karena pete gorengnya tetapi suasana sejuk itu yang membuat para penyair betah tingal di situ.

Satu per satu penyair pulang ke rumah masing-masing, kecuali Mas Hadi Lempe dan teman seperjalanan yang malah tidur berlama-lama di kebon salak. Tak ada gadis desa di kampung itu, mungkin ia ketemu dengan putri salak di kebun .

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(8)

Salak Ludes sampai satu petak

Salak bagi Mbak Anisah Ibu adalah 'ingon-ingon yang dirawat sejak berbunga. Perawatan buah yang rutin dan rajin. menyatikan pejantan ban bakal buah.

Namun pada tanggal 22 Desember itu sepetak ludes oleh penyair. Salak diberiak sebagai oleh-oleh dan dipetik siapa saja yang menjadi tamunya.

Seperti barang siapa mensodakohkan harta bendanya Allah akan melipatgandakan rezekinya. Doa kami semua semoga Kaliurang menjadi subur dan mensejahterakan petani di sana termasuk penyair petani salak.

Selasa, 24 Desember 2019

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(7)

Antologi Tari Soreng

Antalogi Tari Soreng karya Anisah Ibu menjadi acara utama, Antologi yang telah kami kata pengantari ini adalah mode antologi dengan promosi kearifan lokal sehingga nama buku dan penyairnya melekat dengan nilai-nilai kerarifal lokal yang ada dan tak pernah lekang dari sejarah zaman. Buku dan nama penyairnya cepat terkenal.

Peluncuran pun dilaksanakan dengan cara sederhana dan langsung pada saat itu sah dihadiri oleh penerima (calon pembaca buku) dari berbagai unsur spt : pelajar, guru, mahasiswa, tokoh pendidikan , media, dan pengusaha.


Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(6)

Ada Salak Dihatimu

Duri itu hanya kulit luarnya sebagai pencegah bahaya, kulit kedua pelindung diri,dan isi Masya Allah, putihnya bukan main. Salak perlambang keaguingan Tuhan. Dan betapa kagumnya lagi ketika yang putih itu ternyata manis dan segar!

Cerminan penyair ada di buah salak, ada dihatimu, ada Salak Dihatimu, ternyata tulisan adalah wujud luarnya namun hatinya putih suci.

Sebuah pembelajaran ilmiah para penyair di Kebun Salak, dan aku belajar dari karya Allah itu , ia memberi tahu pada kita.

Semua penyair Lumbung Puisi ibarat putih jernihnya salak, duri dan kulit yang tajam dikupas sebelum dimakan. Mereka tanpa pamrih tanpa terpaksa dan ikhlas datang ke pertemuan dengan riang gembira.

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(5

Hadirnya para sesepuh penyair

Kegiatan Temu Kecil Lumbung Puisi di Rumah Anisah tetap dalam ayoman para sesepuh penyair Lumbung Puisi, kami semua peserta merasa tenang karena telah hadir Mas Wardjito Soeharso dan Mas Imam Subagyo dua orang penyair yang juga alim ulama yang cukup dihormati . Tentu saja ketenangan itu juga karena ada Bapak Rahmadi, suami dari Anisah Ibu yang juga adalah tokoh pendidikan di desa Kaliurang. Tak kalah tenangnya kami juga ditunggui Mas Bayu Aji Anwari seorang ulama dan penhyair kharismatik Semarang yang juga adalah keluarga Gus Dur. Mereka semua membawa berkah bagi kami dan kesuksesan acara ini.

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(4)

Semua Membaca Puisi,

Acara yang mudur satu setengah jam karena mati lampu tak menggoyahkan semangat baca puisi. Sampai 12,.30 baca puisi berturut-turut ditampilkan. Penonton pun tak beranjak dari tempatnya. Mbak Anisah Ibu sampai menyuruh pulang anak didiknya karena sampai larut malam, beberapa tokoh masyarakat dan warga banyak yang masih tetap menyaksikan. Di luar gedung tokoh2 masyarakat petanu salah, aparat desa dan bahkan keamanan turut menyaksikan teriakkan para penyair baca puisi.

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(3)


Sicatik slalu ada di Lumbung Puisi,

Pertemuan Kecil Lumbung Puisi kali ini yang kecil juga tak pernah sepi dari penyair-penyair cantik. Sebut saja Indri Yuswandari, Bunga Awanglong, Diyah Patean, Tri Hadini Ok, dan belasan cantik yang belum kami kenal juga beberapa dari mahasiswa yang pastinya cantik.






Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(2)

Hadirnya dukungan yang tidak terduga

Temu Kecil Lumbung Pusi ternyata adalah pertemuan yang sangat menggembitran karena dengan tak terduga sebelumnya kami kehadiran sahabat baru yang masih muda-muda dan penuh kreatif. Sahabat Hadi Lempe ,seorang penyair dan pimpinan redaksi Gaguda Nitizen Jawa Tengah, menghadirkan belasan pecinta sastra dari civitas akademika Universitas Negeri Malang.

Mereka anak-anak muda itu sungguh mengagumkan dengan menampilkan musikalisasi puisi dan baca puisi yang sangat mengagumkan dan menuai apresiasi tinggi dari sekitar 100 penonton di gedung Pertemuan Petani Salak desa Kaliurang Srumbung itu.

Kehadiran yang tak diduga-duga itu juga kami kedatangan sahabat lama yang merasa peduli dan simpati kepada kami mereka adalah penyair Bunga Awanglong, Josua Igho, Enthieh Mudakir, dua penyair muda dari tasikmalaya, Si Cantik Diyah Patean, dan belasan penyair yang belum kenal denganku. Sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara dariMu,

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(1)

Pertemuan itu seni, Temu Kecil Lumbung Puisi Kebun Salak di Rumah Anisah : ,(1)

Tak ada yang menghalangi kebaikan jika Allah telah memutuskan :

Temu kecil sebelumnya digoyang sedikit, seperti memasak sayur, digoyang agar lebih sedap,

Lokasi yang jauh dan medan yang lumayan adalah perjuangan yang tak entenh bagi pengendara mobil atau sepeda motor. Namun sekali lagi tidak ada yang menghalango bila Allah menentekan harus bertemu.

Mati strum listrim sore hari menyebabkan keraguan pada semua, namun kegigihan Mbak Anisah Ibu untuk tekan memanfaatkan pertemuan itu memutuskan tetap dilaksanakan meskipun diusahakan dengan jengset. Namun betapa bersyukunya ketika tiba=tiba saja lampu menyala terang dan kami semua berangkat ke Gedung pertemuan tempat dimana Pertemuan Petani Salak di dusun jrakah desa Kaliurang Srumbung yang megah bagi ukuran kelompok tani.

Sabtu, 07 Desember 2019

'Bibit Bawang itu 'Ditarang,

Sarapan Pagi,

'Bibit Bawang itu 'Ditarang,

Menbuat diri unggul itu perlu digantung dipanasi seperti bibit bawang merah 'ditarang. Ditarang artinya digantung untuk slalu hangat dan tidak lembab. Petani yang membuat bibit bawang tradisional biasanya menarang bawang bibit itu dengan menggantung ikatan pocongan bawang pada bambu yang ditaruh di ruang dapur yang menggunakan pembakaran kayu. Ada juga yang menggantung bibit bawang itu di .blandongan (bangunan penyimpanan atau tempat tersendiri di sekitar rumah).
Sebuah filosofi unik untuk mendapatkan bibit unggul. Artinya seseorang yang ingin menjadi benih unggul harus melampoi tahapan tahapan seperti bibit bawang itu.

Mula bawang dengan usia panen yang cukup disortir untuk dipilih yang memiliki sebuah siung bukan bawang yang beranak. Artinya bawang itu terbungkus dalam satu kelopak daun, dan terlihat tunggal. biasanya disebut bawang tunggal atau bawang sesiung.  Kemudian bawang dibersihkan untuk kemudian ditarang hingga musiom tanam tahun berikutnya.

Penyair dengan seleksi alam yang cukup hebat ini pasti akan menjadi bibit unggul yang lahirkankarya produktif dan bermuti seperti bibit bawang.

Bibit bawang belum ditanam saja harganya bisa 5 sampai 10 kali lipat harga bawang biasa. Jadi ternyata seorang penyair lahir denga mutu yang tersendiri yang kemudian melalui tahapan mengasah diri membentuk bibit yang unggul dan melahirkan karya yang produktif dan bermutu (Rg Bagus Warsono, 7-12-2019)