Sabtu, 26 Agustus 2017

Anung Ageng Prihantoko dalam Kita Dijajah Lagi : Jalan







Anung Ageng Prihantoko

Jalan
           
Anak-anak bimbang menapak jalan-jalan runtuh
Mungkinkah tanda petang yang gamang mulai turun berlabuh
Nilai-nilai luhur sebagai marka terlihat semakin kabur
Toleransi terkerat mati suri, kebijaksanaan sayapnya terbakar tubuh sendiri

Ibu yang menggigil, ibu yang melafalkan nama anak-anak yang selalu dipanggil
Sebab pintu-pintu dunia telah dibuka
Sebab hempasan badai semakin terasa di dada
Dan liar ombak yang berdebur semakin melemahkan bahagia suara kesiur nyiur di telinga
Sebab terik matahari semakin ganas untuk menghanguskan cita-cita di kepala

Anak-anak bermain di museum
: Mengenang coklat hutan yang dahulu hijau
Mengenang keramahtamahan yang disayat karat hujat
Mengenang gotong-royong yang semakin punah terongrong
Pulanglah anak-anak ibu, yang berbeda-beda namun tetap satu
Cilacap, 25 agustus 2017

Jumat, 25 Agustus 2017

Wardjito Soeharso dalam Kita Dijajah Lagi : Metamorfosis Paijo

 
METAMORFOSIS PAIJO 
(Wardjito Soeharso)

Namaku Paijo
Nama pacarku Painem
Dari nama kami, kalian tentu sudah tahu
Kami pasti Wong Jawa asli
Walau dari kelompok pidak pedarakan
Alias rakyat jelata yang hidupnya melata
Lelaki Jawa suka bunyi o di belakang namanya
Perempuan Jawa cinta bunyi em atau i di belakang namanya
Itu sudah warisan nenek moyang
Begitu pula nama teman-temanku:
Parno, Parto, Bagyo, Suto, Trimo, Legowo.
Itu yang laki-laki.
Sedang yang perempuan, namanya juga sejenis nama pacar ku
Ada Tulkiyem, Sarjem, Jaikem, Ngatemi, Supi.
Nama-nama yang bagus dan enak didengar, bukan?

Aku jadi agak kaget
Ketika pergi ke kota untuk meneruskan sekolah
Teman-temanku banyak yang asli kota
Namanya berbeda dengan nama teman-temanku di desa
Nama teman-temanku di kota sungguh keren-keren
Ada Johny, Alex, Bobby, Rio, Dicky, Tommy
Yang perempuan juga keren-keren
Ada Poppy, Angel, Doris, Irine, Silvy
Nama-nama yang bagus tapi aneh di dengar telingaku.

Begitulah, aku di kota berteman dengan mereka
Kalau di desa aku dipanggil lengkap Paijo
Di kota teman-temanku memanggilku Jojo
Biar terdengar lebih keren, katanya
Aku cuma bisa mengangguk
Kini aku resmi menjadi Jojo

Aku sering diajak jalan-jalan teman-temanku 
Makan di restoran fast food Mc Donald atau Pizza Hut atau sesekali ke Bento
Awalnya aku tak tahu makanan apa yang disodorkan itu
Tapi lidahku sekarang sudah biasa dan menyukai
Lidahku sudah lama tak ketemu lagi dengan ketela, tiwul, atau nasi jagung

Satu tahun hidup di kota
Tak ada lagi Paijo dari desa
Yang ada adalah si Jojo
Temannya si Johny, Bobby, Alex, Rio, Dicky, Tommy
Yang kemana-mana pakai celana jins dan kaos warna warni
Yang suka jajan Burger dan Pasta
Yang suka minum Pepsi dan Cola
Yang suka ngedugem dan nonton film

Aku tidak sendirian
Banyak temanku yang lain
Yang juga berangkat dari desa
Punya pengalaman yang sama
Si Parjono berubah jadi Jony
Si Mukiyo berubah jadi Maky
Si Bimo berubah jadi Bimbim
Begitupun teman-temanku yang perempuan
Si Maemunah berubah jadi Mae
Si Aminah berubah jadi Amy
Si Suliasih berubah jadi Yessy
Mereka sudah menjadi anak kota
Yang sudah jarang pulang kembali ke desa

Kalau sedang ngedugem
Aku dan teman-temanku
Suka menikmati musik rock
Sambil minum Mansion atau Martini
Dan hembusan asap Marlboro atau Dunhill
Sesekali mulut ngemil Pritzle atau Tortilla
Rasanya aku bukan lagi pemuda desa
Aku adalah Si Jojo, yang tak beda dengan remaja Amerika, Eropa, atau Australia.

Siang yang panas, 21.08.2017 - 14:16

Quick Reply
To: wardjito soeharso <weesenha@gmail.com>

Sami'an Adib, dalam Kita Dijajah Lagi : Membaca Ulang Puisimu




Sami’an Adib



Membaca Ulang Puisimu



Entah mengapa aku selalu merinding setiap membaca ulang puisimu

tentang kanibal di sekitar kita

:negeri ini dipenuhi lelaki kanibal

rakus memangsa anak gadisnya

padahal aku tak pernah yakin hal itu ada



Entah mengapa hatiku selalu teriris setiap membaca ulang puisimu

tentang robohnya nurani para kesatria pemangku negeri

:dengan dalih kemakmuran bersama

jutaan kubik pasir terus-menerus digerus

dikirim untuk reklamasi pantai negara tetangga

meski belum habis bumi ini terkikis

tapi perlahan teritorial hidup kita terpangkas

padahal tak pernah terkalkulasi dalam ritus niagaku



Entah mengapa hatiku selalu tersayat setiap membaca ulang puisimu

tentang sebentang negeri yang tergadai

:para cukong berlidah lihai

menjajakan pesona alam

beserta jengkal-jengkal tanahnya

kaum pribumi terusir dari pukau pulau rintisan leluhurnya

menjadi manusia perahu

hidup terempas di rentang pasang gelombang

padahal tak pernah terbenak dalam tafakur sosialku



Entah mengapa bopeng wajah negeriku tak hilang-hilang

meski telah mencoba bersolek berulang-ulang

barangkali sudah terlalu kronis

atau memang sengaja tak digubris



Jember, 2015-2017

Wadie Maharief dalam Kita Dijajah Lagi : Di Negeriku yang Merdeka






Wadie Maharief

Di Negeriku yang Merdeka

di negeriku yang merdeka
kau bebas menawarkan mimpi
agar rakyat kami terlena
kau bangun gedung-gedung
dengan nama asing
kau bangun pabrik-pabrik
modern yang menggoda
kau jual makanan berselera tinggi
dan pakaian mahal
kau tampilkan seni budaya
penuh kebebasan
dan kami ada yang terseret arus
tawaran mimpimu
memaksa diri agar sama
dengan dirimu
kami ada yang cuma melongo
merasa ketinggalan zaman
ada pula yang bingung
resah
merasa terasing di negeri sendiri
di depan mall, showroom mobil, restauran siap saji, kafe dan play station

aku cuma ingat pepata leluhur;
orang bodoh makanannya orang pintar
orang miskin jajahannya orang kaya
orang lemah taklukannya orang kuat

begitulah penjajahan berjubah
pasar bebas dan globalisasi

----- Yogya 22 Agustus 2017