Kamis, 24 Agustus 2017

Eddy Pramduane dalam Kita Dijajah lagi : Puisi Singkat Rakyat



Eddy Pramduane


Puisi Singkat Rakyat

Aku memulung kata
dari dunia maya
kata -kata bijak
kata- kata terinjak

kata- kata halus
kata-kata akal bulus

kata-kata sejuk
kata-kata para perajuk

kata-kata guru
kata-kata lan ditiru

kata-kata pamong
kata-kata cuma omong

kata-kata camat
kata-kata main comot

kata-kata Wakil Rakyat
kata-kata menipu rakyat

kata-kata menteri
kata-kata proyek menanti

kata-kata Presiden
kata-kata senyum Pepsoden

kata-kata Juru bicara kabinet
kata -kata yang menjelimet

kata-kata Jaksa agung
kata-kata pencari untung

kata-kata Hakim Agung
kata-kata siapa yang  digantung

kata-kata Polisi
Kata-kata Anti demontrasi

kata-kata Tentara
kata -kata anti ganti bendera

Kata -kata para pelacur
kata-kata nafsu meluncur

kata-kata pedagang kaki lima
kata-kata Istri dan anak di Rumah

kata-kata Istri di rumah
kata-kata tak boleh kawin dua

kata-kata seniman
kata-kata para pemanis buatan
Kata-kata para pujangga
kita masih dijajah.

Depok, Agustus 2017

Suhendi dalam Kita Dijajah Lagi : Matinya Macan Asia




 Matinya Macan Asia
Aumanmu
Tak terdengar
Di hutan nusantara
Matikah?
Ah, manalah mungkin
Dipanah ia tetap gagah
Ditembak tubuhnya tak koyak
Kemana suaramu!
Atau benar kau sudah mati
Terperangkap jaring laba-laba
Meronta pun tak berdaya
Karena derita sudah naik seleher
2017

                                                         


   Suhendi, lahir di Bekasi 25 September 1986. Aktif bersastra sejak lulus sekolah, puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Podium kumpulan buku puisi tunggalnya terbit tahun 2015.







Rabu, 23 Agustus 2017

Chalvin Papilaya dalam Kita Dijajah Lagi : Sekarang Bumerang



Chalvin Papilaya

Sekarang Bumerang



Sekarang, bergelegar para kesatria

Lebih sukar telah berlumur darah

Menanti-nanti takdir bercengkrama

Malam membuat tawanan pengembara

Mulut sesumpal raksasa tak bisa lagi dicabut



Sekarang, bergaya laskar di beranda muka

Panji berdendang, kutahu murka orang asing

Menggemakan mitos purba kaum putih

Dan notulensi di kanan meja memuja-muja ketakutan

Pelayar kapal yang mengenal tuhan, menutup roh-roh



Sekarang, luluh-lantak guru-gurulah jadi pelipur

Mengaku sang ahli nujum, penemu bintang-bintang

Walau metamorfosis di angkasa terbentang ganjil

Dalam sabda gaib, kita merayakan perkabungan

Berlebur urapan duka yang meletupkan sisa-sisa siksa



Ambon, Agustus 2017
Chalvin Papilaya alias ‘sebasta’. Lahir di Poka pada 23 Januari 1992. Sekarang sebagai mahasiswa akhir di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku. Terkadang bermain teater di Bengkel Sastra Batu Karang dan mendedikasikan puisi bagi kampung.

Mohamad Iskandar dalam Kita Dijajah Lagi : Di Depan Televisi

 
Di Depan Televisi 
 
segala ruang dikerubuti banyak warta
menteri anu meresmikan pabrik
di sekitarnya masyarakat menjerit
ladang dan sawah terjual karena paksaan
pagar tinggi bakal mengepung
sebuah harga diri pelan terkoyak
para cukong merubah wajah desa menjadi setengah kota
minimarket tersebar bak jamur
warung-warung mulai gugur

mainan tradisional terus tergusur
diganti gadged paling manjur
meninabobokkan otak anak-anak bangsa
hebatnya zaman ini
mengimingi mimpi diri

mataku terpaku di depan televisi
angka-angka dikabarkan sebagai keberhasilan
jalan-jalan beton, pabrik-pabrik memasuki desa, penjualan gedung-gedung
siapa yang diuntungkan?
pribumi melongo saja
menonton dari pinggir saja

tanda tanya meliar di pikiran
pembangunan milik siapa?
O, bangsaku pasar besar
hendak dikuasai koloni besar

bangsaku semacam dara
mengundang banyak jejaka untuk merayu dan memilikinya
ditebar racun beratus bisa
dan kita mesti waspada
selalu waspada!

pesawat televisi masih menyuarakan gemerlap kemajuan 
semu, kuangkat tubuhku
menyeruput sisa kopi di cangkir
lalu mengambil cangkul
berangkat ke sawah

Karangrayung
14 Agustus 2017