Sabtu, 03 September 2016

Lumbang Puisi Jilid IV








Little Lite      

Burung Hantu


Terbanglah lebih rendah
Sebab tikus ada di tanah

Tak perlu terbang tinggi
Bulan tak sudi kau temui


Padang, 01052014



Little Lite
Suara-suara

Di kepalamu
Ada suara tetes-tetes darah
Jatuh dari luka yang selalu nganga
Terkoyak pisau waktu yang putus asa

Di kepalamu
Dengung igau beribu pasang sayap lebah
Menyulut sumbu resah tangis dan amarah
O, jiwa yang patah dan lelah

Di kepalamu
Denting gelas arak iblis dan malaikat yang bersulang
Gaduh pesta pora atas surga yang dijanjikan Tuhan
Pengganti duniamu yang hilang

Muarabungo, 20122016








Mike Dwi Setiawati

Kepodang Senja

Melukis senja,
Berbingkai cahaya berwarna gading,
Laut berombak dan sepasang angsa berbincang tentang lengang dermaga,
Kucatatkan kau sebagai basah senja,
Larik larik kata pada sajak usang,
Buku harian yang tak lekang,
Sepasang kepodang, berkicau riuh di dahan kemuning,
Betapa senja adalah sebuah kitab kerinduan,
Yang tak pernah usai kita terjemahkan..




























Mohamad Firdaus

Merubah Diri Jadi Pupa

aku hanya hendak bersemadi pada kehangatan rumah
untuk menjaga licin kulitku dari tajam angin dan gigil hujan
setiap ia turun merindukan bumi. sebelum waktu melilitku,
memerahku sampai napas tersengal dan pori mengucurkan
deras darah sebagai hukuman teruntuk penghuni bumi
telah kusimpan segala kesedihan dan juga kegembiraan
sebab mereka hanyalah pendusta  yang akan membunuhku
sepulang dari perjalanan panjang dan melelahkan
membuatku beranjak mencari-cari tempat pembaringan
sementara yang tenang dari bising dan pikir yang gila
-ini merupakan batas di mana aku harus bersiap menekuri waktu
sampai tubuhku mengeras menjelma rumah pupa yang malang-

aku hanyalah larva dengan tubuh dan hati yang melunak
hendak merubah rupa jadi penyihir dengan tatapan mata
di ujung musim yang ranum. kau akan jumpai tubuhku menggantung
pada kulit ranting setelah keras tubuh merubahku jadi pupa
seperti petapa yang gemar merapal mantra sampai titik cahaya
merekah pada keras cangkang 
Purwokerto, 31 Januari 2016












Mohamad Firdaus

Melepas Kupu-kupu

telah terwujud segala doamu yang kerap dibenamkan
lewat tetes airmata di bujur malam. waktu di mana kau adukan
seluruh resah sebab betapa pun diri ingin namun kau harus tahan diri
menahan hati, memahami arti bahwa janji pasti terlunasi
dan pukau kini telah ada di tubuhmu serupa daya pikat
untuk dilihat. mengubah rupamu jadi elok. meninggalkan
jejak tapa sunyi. kadang angin mengajarkanmu agar tetap bertahan
mengulitimu berlapis-lapis sampai habis atau dingin udara
akan datang dengan jubahnya: penuh restu dan pengampunan

terbanglah selagi angin tenang dan musim berpura-pura sahabat
sebelum berlain pikir lalu menikam: jadikanmu pesakitan siang malam
lupakan kosong kepongpong sebab ia telah jadi baju zirah sejarahmu
yang telah mengelupas sejak kau bunuh hantu di tubuhmu
lihatlah, serbukserbuk pada sepasang sayapmu akan jadi kilau mata
seperti putik bunga menggoda: apabila terpetik maka akan binasa
melahapmu menuju kematian
Purwokerto 7 Januari 2016









Lumbung Puisi Jilid IV





Muakrim M Noer Soulisa


Negeri Hewanesia

DPR-nya monyet rakus
Presidennya tikus
Mentrinya bulus
Partainya hush…! hush…! hush…!
Rakyatnya?

Silahkan mampus!

Pulau Buru, 11 Agustus 2016








Muakrim M Noer Soulisa

Sesekali Cobalah Jadi Binatang

Sesekali cobalah hidup di lautan
Berenang di palung yang paling palung
Menghindari pukat bertaring
antara karang karang sampah
hiu hiu baja juga lembar surat penguasa
Bisakah kau terbiasa?

Sesekali jadilah liar di hutan
Berburu di  rimba yang paling rimba
Antara sawit dan tapal batas terkikis
Liarlah bersama auman predator kotor
juga hewan hewan baja
Bisakah kau terbiasa?

Sesekali cobalah menari angkasa
Bercinta di mendung yang paling mendung
Antara awan kelam dan asap asap gelap
menarilah bersama hujan
kemarau
serta panas surya
Bisakah Kau terbiasa?

Sesekali cobalah jadi binatang
Bisakah?

Pulau Buru, 11 Agustus 2016










Mukti Sutarman Espe

Merindu Burung Terbang

kemanakah burung-burung
yang dahulu acap kulihat
melintas lazuardi
terbang menghiasi bentang sawang

aku kehilangan
kepodang kuning yang tansah gelisah
kutilang jambul yang suka berpasang-pasang
dan emprit bulu abu-abu
yang datang pergi selalu berombongan

kemana mereka
tiada seorang kenan berkabar
koran dan televisi hibuk dengan dirinya sendiri
asyik masyuk beritakan sampah
ranjang kusut selebriti dan lidah ular politisi

aku kehilangan
panorama cahya mata
kepak berirama sayap-sayap indah

aku kehilangan
nyanyian kalbu alam raya
kicau dan cericit yang limbur melipur

kemana burung-burung itu
adakah mereka tlah pindah rumah
bersarang di pagina buku
bahkan larik dan kuplet syairmu
kemana?
kudus 2016.







Mukti Sutarman Espe

Sajak dan Ular sanca

seekor ular sanca kembang
semalam tersesat ke dalam sajakku
belang kulitnya menjelma sapa
yang dikirim hitam hutan
bagi hijau perbukitan dan biru lautan

aku pangling
coklat
kuning
putih
hitam
warni-warna kulit ular itu
membuat sajakku jadi kelabu
menafsir tempat plesir terindah
apakah hutan?
apakah perbukitan?
apakah lautan?

aku ragu
lalu kuimpikan lutung, rusa, singa, gajah, banteng, srigala
rumput, lumut, kol, teh, kentang, sawi
teri, udang, cakalang, pari, paus, hiu
kawin mawin        
dan melahirkan hutan baru di sajakku

seekor ular sanca kembang
tersesat dalam sajakku
di sela kata, frasa, dan tanda baca yang tertera
susah payah dicarinya hutan rumahnya dahulu
yang selalu riuh dengan suara
desik belalang
kicau burung
jerit bekantan
aum harimau
lolong srigala,  
sia-sia
dan hutan yang kuimpikan itu?
urung datang di tidurku.


Nanang Suryadi

Kupu-kupu di Buku Waktu’

di buku waktu,
 seseorang melukis bunga matahari.
 seekor kupu-kupu hinggap di lembarnya
seekor kupukupu terbang dari dalam buku dongeng. sayapnya basah,
 menggelepar di atas kertas .
 seekor kupukupu terperangkap jaring sepi
                  



Nanang Suryadi

Seekor Ikan Berenang di Langit

untuk: kang badri @indiejeans
aku menghikmati kesunyian, seperti menghikmati kehidupan. tak ada yang aneh dengan puisi
seperti juga senja ini, seekor ikan berenang di langit, ikan yang kau lepas tadi pagi
seekor ikan berenang-renang di langit, dan para perindu tertawa girang sekali
seekor ikan demikian riang, berenang-renang di langit, langit yang tenang
aku gemetar menatap langit, tapi ujarmu: lihat nanang, ikan berenang di langit, serupa kenang
para perindu, para pecinta menyeru-nyeru, namun engkau tetap tersenyum melulu. “lihat ekornya indah bukan?” ujarmu.
seekor ikan berenang di langit. berjumpa dengan rindu
seekor ikan terbang ke langit, mencari kolam yang penuh air terjun, sungai-sungai yang bening
Malang, 17 Oktober 2011





Nanang Suryadi

Aku ingin menangkap ikan dari ide yang kering

seekor ikan melompat ke kolam, saat banjir tiba. kolam itu kering di musim kemarau. seekor ikan berenang di jalanan beraspal dan berdebu, sekering ide dalam kepalaku. perhatikan ranggas pohon itu, daun-daunnya yang kuning, serupa rambutku yang mulai rontok. siapa itu yang berteriak: jangan tertawa, langit masih tak ingin menyelesaikan hujannya. kalimat sudah pernah aku tuliskan, dimana? mungkin di dalam mimpimu saat membaca bukuku yang tak pernah diterbitkan. bagi kalimat yang tak pernah sempat dituliskan tak akan ada yang menangisimu, katanya sambil menghapus matanya yang sembab. ya, ya, karena puisi hanya permainan kanak yang tak mau segera dewasa.
hei, kemana ikan yang aku tangkap tadi? seekor ikan menggelepar gelepar di tanganmu, serupa kata-kata menggelepar, di kolam kering. siapa itu yang berteriak: hei, kemana ikan yang menggelepar tadi? dia melompat ke dalam kepalamu yang penuh air terjun.
aku akan kembali, memungut remah dari kata-kata yang tak pernah dihabiskan. di mana alamatmu? seekor ikan melotot dan melompat ke apartemen yang belum jadi. siripku, sayap yang pernah patah di kelopak bunga, kata ikan itu, menceritakan dirinya yang pernah menjadi kupu-kupu. ciumlah aku, kata bunga itu, kupu-kupu gemetar dan sayapnya patah, saat itu.
sudah, sudah, tak ada yang lebih sampah dari segala muntah, kata seekor ikan yang menggelepar di dalam kepalaku. aku ingin tidur, terpejam dan melupakan dunia yang teramat gaduh.
seekor ikan terbang ke langit, mencari kolam yang penuh air terjun, sungai-sungai yang bening
Malang, 17 Oktober 2011