Sabtu, 07 Mei 2016

Sajak-sajak Bahari: Satu Keranjang Ikan



Nusantara itu luas namun kadang sempit oleh hati yang sempit. Karena tidak mengenal lautmu yang menjaga nusantaramu. Bahari yang luas beratus nama laut dan selat, teluk dan semenanjung. Tetapi juga tak sebatas mengenal peta, ternyata laut juga sahabat kita. Nelayan nusantara yang gagah perkasa. Penulis suguhkan bagian dalamnya laut, ditengah lautan, dan diantara sahabat nelayan.


Pengantar Antologi

   Sorotan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya bahari.
Masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang spesifik dan terbangun melalui proses evalusi yang panjang.

Khekhasankebudayaan di atas, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola perilaku dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan, serta kepemimpinan sosial tumbuh karena pengaruh kondisi- kondisi dan karakteristik-karakteristik yang terdapat di lingkungannya. Sebagai bagian dari suatu masyarakat yang luas, yang sedang bergerak mengikuti arus dinamika sosial, masyarakat nelayan dan kebudayaan pesisir juga akan terkena dampaknya. Kemampuan beradaptasi dan keberhasilan menyikapi tantangan perubahan sosial sangat menentukan kelangsungan hidup dan integrasi sosial masyarakat nelayan.

Berjajar di kelasnya
teman baik
arti saat
kawan 
hari libur
dan berebut ikan
pulang bersama-sama
perahu kecil sejenis
Indramayu, Juni 2015

Sebuah kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir.  Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan.

Bagi masyarakat  nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa  yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermata- pencaharian sebagai nelayan . Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan.

Jangan melaut hari ini
alam tak bersahabat
tapi cuaca baik
kalian tak mengerti saat
ikan marah
air memerah
angin malu
awan tersipu
pura-pura dungu
jangan melaut hari ini
biduk capai menahan dingin
jaring robek sendiri
air tak lagi asin
ombak diam 
Indramayu, Juni 2015

Elaya di setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah
jadi
medung tebal
jangan melaut hari ini
membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85, 91).

Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia,  satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda.Sebuah  identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial.

Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.Konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan.

Arad dan Kursin sama saja
Aku perahu arad yang kecil bermesin kecil
Aku perahu kursin sepuluh badanmu bermesin ganda
bagi puluhan awak kapal di kursin
dan bagi beberapa awak di arad
Jika kau tiga bulan pulang
aku pagi pergi petang kembali
rejezi dibagi-bagi
kau kembali dengan sepikulan ikan
aku hanya menukar seekor ikan dengan sepiring nasi.
arad dan kursin sama saja
Rg Bagus Warsono,10-5-2015

Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayanberikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial.

Kampung muara di bibir pantai
air anta tempat kakap bersarang
pemancing datang tiap malam
ikan tak pernah habis
udang bertelur menetas tiap malam
Kampung muara sungai
berciri nyiur menjulang
dan pohonan rimbun
ijinkan melewati muaramu tenang
agar ikan sesuai harapan
Kampung muara sungai
saksi perahu kami , along atau hanya dapat lawuhan
Indramayu, Juni 2015

Perilaku eksploitatif yang tak terkendali berimplikasi luas terhadap kelangkaan sumberdaya perikanan kemiskinan nelayan. Di samping itu, kompetisi antarnelayan dalam sumber daya perikanan terus meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik secara eksplosif di berbagai wilayah perairan, khususnya di kawasan yang menghadapi kondisi overfishing (tangkap lebih). Kelangkaan atau semakin berkurangnya sumber daya perikanan, khususnya di perairan pantai, dan kondisi overfishing, yang disebabkan oleh beberapa hal penting, yaitu: eksploitasi berlebihan dan kerusakan ekosistem pesisir-laut.Kegiatan eksploitasi sumber daya perikanan tidak disertai dengan kesadaran dan visi kelestarian atau keberlanjutan dalam mengelola lingkungan pesisir-laut, sehingga terjadi ketimpangan.

Kegagalan pembangunan pedesaan di wilayah kabupaten/kota pesisir, sehingga meningkatkan tekanan penduduk terhadap sumber daya laut dan kompetisi semakin meningkat.Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984:62)
Orang pesisir memiliki rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat penghargaan yang tinggi”.
Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir . Di Indonesia masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan.
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai.
Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007).Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar,maupun permukaan perairan.Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan payau maupun laut.
Nurochman Sudibyo YS, sastrawan tinggal di Tegal




Senin, 02 Mei 2016

Selamat di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016

Masih banyak catatan buat kita , masih banyak yang perlu diberesi, masih banyak yang seharusnya tidak pantas . Demikian penyair Rg Bagus Warsono menyampaikan pesan dalam puisi kritik berbagasa Jawa.
berikut puisinya.
"Aku hadiahi Hardiknas dengan sebuah puisi. Puisi inilah yang banyak meraih kecaman padaku. Tapi aku malah seneng karena inikan puisi ya kan?"

Sekolah Isine Patungan, RgBagus Warsono

Sekolah Isine Patungan
 Jarene guru wis mulya
numpake mangkat mulang rodane papat
umahe gedong rajeg wesi
mulang klambine apik kudunge anyar
sepatune mengkilap disemir
nyatane arep dagang
sekolah dadi toko kriditan
muride pinter tapi keder
kabeh aturan ana regane
patungan tuku buku langka lirenne
Bocah minder
wong tua murid mblenger
saben dina kudu ana
patungan werna-werna
guru saiki ora nduweni rai
rai kandel ilmune ngedabel .
RgBagus Warsono, 23 Januari 2016

Tak tetentu arah pendidikan kita.

Tak tetentu arah pendidikan kita.
Beberapa unsur penting nasional biasanya menjadi bobot utama arah pendidikan seperti pada masa presiden Soekarno , nasionalisme dan wawasan kebangsaan menjadi inti kurikulum saat itu, Kemudian masa Soeharto memuat bagaimana ketahanan pangan menjadi modal utama pembangunan bangsa, sedang Habibie membuat pendidikan Indonesia mampu bersaing dalam perkembangan teknologi . Di masa Gus Dur pendidikan kembali seperti apa yang didengungkan Soekarno, Megawati meneruskan sikap Gus Dur pada saat itu. Kemudian SBY memberi tekanan pada budi pekerti luhur bangsa. Sekarang zaman Jokowi pendidikan tak tentu arah karena berbagai permasalahan komplek nasional berkembang, nasionalisme, wawasan kebangsaan, ketahanan pangan, dan jumlah penduduk yang banyak serta era global yang sangat dominan sekarang. Jadi tak tetentu arah pendidikan kita

Sabtu, 16 April 2016

Segera Terbit Karya Rg Bagus Warsono , kumpulan puisi Bahari , Satu Keranjang Ikan

Kupersembahkan untukmu Bu Susi, Kartini Reformasi , mentri terpopulair di Asia, Satu Keranjang Ikan . Selamat untukmu Kartini Indonesia.

 Minat dengan buku ini, kirim 40rb untuk setiap 1 eksemplarnya ke

BRI CAB INDRAMAYU nomor rekening 0028-01-001671-53-1 an. Agus Warsono, SPd.

Selasa, 05 April 2016

Sekolah Isine Patungan, RgBagus Warsono

Sekolah Isine Patungan

Jarene guru wis mulya
numpake mangkat mulang rodane papat
umahe gedong rajeg wesi
mulang klambine apik kudunge anyar
sepatune mengkilap disemir
nyatane arep dagang
sekolah dadi toko kriditan
muride pinter tapi keder
kabeh aturan ana regane
patungan tuku buku langka lirenne
Bocah minder
wong tua murid mblenger
saben dina kudu ana
patungan werna-werna
guru saiki ora nduweni rai
rai kandel ilmune ngedabel .



RgBagus Warsono, 23 Januari 2016

Jumat, 01 April 2016

Bahan penelitian baru bagi mahasiswa fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia

Untuk bahan penelitian bagi mahasiswa fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia pada bidang penelitian sastra modern hendakya diberikan kebebasan memilih sorotan jenisnya, misalnya puisi yang berkaitan erat dengan penyairnya itu. Kebebasan itu bisa pada sorotan genre baru, karya salah satu penyair, komunnitas penyair, atau penyair yang muncul terkini di suatu daerah. Para dosen hendaknya melihat perkembangan dunia kepenyairan terkini yang setiap hari semakin maju, berkembang dan tersebar di setiap pelosok nusantara dan tidak hanya tertuju pada buku lama di perpustakaan yang penuh buku proyek anggaran dari karya pujangga lama sampai angkatan 66.

 Minimnya pilihan mahasiswa fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia pada bidang penelitian sastra terkini dikarenakan berbagai hal. Salah satunya adalah kurangnya buku-buku karya penyair terkini masuk perguruan tinggi. Saya sering kali mendengar upaya mahasiswa sebuah unv. di fakultas sastra yang akan meninggalkan fakultas itu beramai-ramai menyumbangkan buku buku bagi perpustakaan di universitas almamaternya.

  Penelitian sastra yang dilakukan para mahasiswa itu lagi-lagi meneliti objek yang sama. Kebanyakan pada karya-karya angkatan pujangga baru hingga angkatan'66 sehingg banyak menghasilkan temuan 'kembar dari penelitian sebelumnya. Sangat disayangkan apabila terjadi justru di fakultas pendidikan.

 Jika mau banyak pilihan objek penelitan sastra terkini, misalnya puisi menolak korupsi itu bagaimana sih?, sastra negeri poci itu seperti apa?, Sartra mbeling itu seperti apa? karya-karya penyair seperti Acep Zamzam Noor II, Gola Gong, Soni Farid Maulana, Radar Panca Dahana, Isbedy ZS Stiawan, Sosiawan Leak, Jamal D. Rahman II, Seno Gumbira Adjidarma, Ahmad Syahbudin Alwi, dll itu seperti apa? Atau genre-genre puisi terkini. Sebuah pilihan penelitian yang sebetulnya enak dilakukan karena objek yang dapat memberi manfaat muatan ilmu baru bagi mahasiswa.

 Sejak 2010 internet makin memasyarakat di Tanah Air. Potret sastra kita semakin marak di internet. Situs-situs sastra banyak bermunculan melalui websait atau akunn lainnya. Sastra kita subur hingga pelosok Tanah Air. Aneka warna puisi Indonesia semakin beragam rasa bak bumbu dapur, yang bentuk dan rasa berbeda. Sebuah gairah masyarakat yang tinggi terhadap sastra khususnya puisi. Diantara aneka tumbuhan di hutan sastra kita, maka banyak ditemukan yang indah, bermanfaat, bahkan berbuah lebat.

 Dari semua perkembangan itu peminat sastra khusunya para mahasiswa fakultas bahasa dan sastra Indonesia dapat terlibat langsung mempelajari perkembagan sastra Indonesia yang tak lagi klasik.
(rg bagus warsono 1-4-16)

Minggu, 06 Maret 2016

Dialektika Budaya Baca dan Harapan Masyarakat Sastra Indonesia

Rg Bagus Warsono

Ditengah rakyat Indonesia ternyata masyarakat sastra Indonesia itu lumayan banyaknya, padahal era ini budaya baca khusus sastra terbilang sangat minim. Jadi sangat aneh sekali bila budaya baca rendah tapi pecita sastra cukup banyak. Sebuah pertanyaan sekaligus tantangan bagi para penulis sastra untuk menyikapi hal ini. Apakah media baca sastra perlu diselaraskan dengan perkembangan teknologi atau cara baru agar terpenuhinya sarana baca dan aktifitasnya untuk memberi penyediaan sastra dan kegiatannya bagi masyarakat.

Sebagai seorang yang berkecipung di pendidikan sangat yakin betul bahwa minat baca para pelajar di semua jenjang sangat rendah. Kalau tidak 'diperintah untuk baca buku sulitnya minta ampun. Apalagi secara kebutuhan mereka datang di perpustakaan sekolah. Menurut Samsuni Sarman, dan Ali Arsy Kemendikbud pernah santer mengkampanyekan perpustakaan di tahun 2000-an tetapi kini sudah kendor lagi. Keadaan demikian ini perlu diupayakan methoda baru yang lebih mengena sasaran. Tetapi juga akan sangat heran bila kita ketahui bahwa para pelajar juga banyak yang mencintai sastra. Terbukti di setiap event lomba baca atau cipta puisi/cerpen atau lainnya yang diselenggarakan di luar kegiatan sekolah atau diluar program kemendikbud , banyak didapati peserta dari kalangan pelajar .


Perkembangan masyarakat pecinta sastra sebetulnya meningkat tajam, hampir setiap kota/kabupaten terdapat apa yang kita kenal sekarang dengan dewan kesenian yang didalamnya terdapat bagian organisasi para seniman sastra. Belum lagi kelompok dan sanggar-sanggar sastra. Dan akan lebih banyak lagi bila di berbagai media sosial tumbuh banyak pecinta dan pelaku sastra.Bukti ini menandakan bahwa ada banyak rakyat Indonesia yang suka terhadap sastra dengan berbagai bentuknya.

Bukti perkembangan pecinta sastra yang begitu besar juga terkadang membuat ironis manakala ada bazar buku sepi pengunjung, ada perpustakaan tetapi pintunya tertutup rapat, dan buku-buku sastra diretur kembali ke penerbit karena minim pembeli.
Penulis juga menangkap kesan, ketika seseorang yang di pekerjakan di kantr perpustakaan atau di perpustakaan sekolah sudah tidak memiliki kebanggaan lagi.Belum lagi ketika perusahaan koran dan tabloid menutup kolom sastra karena sudah tak ada keseimbangan antara biaya pengelola tajuk sastra dengan oplah media itu yang makin berkurang.



Dialektika budaya baca seperti itu, membuat daya jual buku sastra perlu dicari format baru yang menjanjikan. Tayangan sastra di website atau buku elektronik tak dapat memberi harapan bagi penulis. Media cetak hanya pada media besar nasional dan tak memenuhi perbandingan dengan jumlah penulis yang banyak. Salah satu cara yang mungkin dapat diterima adalah menjadikan kegiatan sastra sebagai intertaiment. Kelemahan sisi ini adalah ketokohan seorang pelaku sastra harus pada posisi khusus kepopulairannya. Ia harus seperti artis layaknya sehingga tiap penampilannya memiliki sisi komersial. Dan ini tentu memerlukan perjuangan bila menjadi artis sastra populair. Pada giliran ini barulah karya penulis itu diminati dan mahal. Untuk menjadi artis sastra diperlukan tidak hanya piawai merangkai kata tetapi juga memiliki talenta lainnya seperti baca puisi, aksi panggung, bicara ,master ceremony atau berpenampilan secara prfesional.
Rg Bagus W, 6-3-16 
Foto : Riri Satria

Jumat, 04 Maret 2016

Penyair Mbeling Luncurkan Antologi Puisi Sakkarepmu di Warrung Apresiasi Bulungan.

Sakkarepmu memcapai puncak disaat peluncuran bukunya Rabu 2 Maret 2016 di Warung Apresiasi Bulungan Jakarta tempat dimana Sastra Reboan bermarkas dibawah garapan tokoh penyair mbeling Indonesia Aloysius Slamet Widodo. Saat itu juga dihadiri beberapa penyair nasional seperti Sosiawan Leak ,RgBagus Warsono, Wardjito Soeharso, Samsuni Sarman, Ali Arsy, Dedari Rsia, Budhi Setyawan Penyair Purworejo, Wans Sabang, dan Bambang Widiatmoko yang terlibat dalam buku sastra yang sempat menggegerkan itu. Dan tampak pula beberapa penyair muda terkenal lain seperti Zaeni Boli, Fitrah Anugerah, Dan beberapa penyair muda lain pengisi antologi ini.

Dalam sambutannya Aloysius Slamet Widodo mengharap agar generasi muda memiliki keberanian menulis sebebas-bebasnya namun tetap memiliki kandungan sastra, sedang RgBagus Warsono menyampaikan bahwa Sakkarepmu yang banyak memperoleh sambutan ini digarap dengan keterbatasan yang serba 'kurang segala sesuatunya. Dan dua tokoh ini mengucapkan terima kasih pada semua yang dapat hadir .


Tampak diantaranya terdapat tokoh-tokoh penyair terkiniseperti Dyah Kencono Puspito Dewi , Salimi Ahmad, Harry Tjahjono, Herman Syahara, Fanny Jonathans, Nani Tanjung, Dedy Tri Riyadi, dan masih banyak pelaku sastra lainnya yang hadir di peluncuran buku puisi Sakkarepmu itu.


Pada deretan penyair muda tampak dua penyair yang menaik namanya saat seperti Damar Anggara dan Kidung Purnama dari Jawa Barat. Turut Hadir pula Agus Chaerudin dari Tangerang.

  Peluncuran Buku Sakkarepmu itu bertambah meriah saat Aloysius Slamet Widodo membacakan sajak-sajaknya yang membuat Warung Apresiasi Bulungan 'meledak tawa. Puisi-puisi berjudul Puisi Birahi dan puisi Asu karya pengarang mbeling ini menjadikan suasana puncak Sakkarepmu.
Acara yang dipandu Sosiawan Leak penyair populair Indonesia saat ini membuat hangatnya suasana malam Bulungan.


Menurut Harry Tjahjono ketika dinobatkan untuk memberikan komentar menyatakan bahwa kreatifitas Sastra Mbeling akan dapat membuahkan berbagai karya baru yang dapat menasional seperti Antologi Sakkarepmu ini yang justru muncul dari daerah. 


Sedangkan penyair-penyair muda dari daerah mengharap agar kesempatan itu harus diberikan dari para seniornya agar dapat mengisi khasanah kesusastraan Indonesia semakin maju. (ulasan rgbagus warsono 4-2-2016)