Minggu, 06 Maret 2016

Dialektika Budaya Baca dan Harapan Masyarakat Sastra Indonesia

Rg Bagus Warsono

Ditengah rakyat Indonesia ternyata masyarakat sastra Indonesia itu lumayan banyaknya, padahal era ini budaya baca khusus sastra terbilang sangat minim. Jadi sangat aneh sekali bila budaya baca rendah tapi pecita sastra cukup banyak. Sebuah pertanyaan sekaligus tantangan bagi para penulis sastra untuk menyikapi hal ini. Apakah media baca sastra perlu diselaraskan dengan perkembangan teknologi atau cara baru agar terpenuhinya sarana baca dan aktifitasnya untuk memberi penyediaan sastra dan kegiatannya bagi masyarakat.

Sebagai seorang yang berkecipung di pendidikan sangat yakin betul bahwa minat baca para pelajar di semua jenjang sangat rendah. Kalau tidak 'diperintah untuk baca buku sulitnya minta ampun. Apalagi secara kebutuhan mereka datang di perpustakaan sekolah. Menurut Samsuni Sarman, dan Ali Arsy Kemendikbud pernah santer mengkampanyekan perpustakaan di tahun 2000-an tetapi kini sudah kendor lagi. Keadaan demikian ini perlu diupayakan methoda baru yang lebih mengena sasaran. Tetapi juga akan sangat heran bila kita ketahui bahwa para pelajar juga banyak yang mencintai sastra. Terbukti di setiap event lomba baca atau cipta puisi/cerpen atau lainnya yang diselenggarakan di luar kegiatan sekolah atau diluar program kemendikbud , banyak didapati peserta dari kalangan pelajar .


Perkembangan masyarakat pecinta sastra sebetulnya meningkat tajam, hampir setiap kota/kabupaten terdapat apa yang kita kenal sekarang dengan dewan kesenian yang didalamnya terdapat bagian organisasi para seniman sastra. Belum lagi kelompok dan sanggar-sanggar sastra. Dan akan lebih banyak lagi bila di berbagai media sosial tumbuh banyak pecinta dan pelaku sastra.Bukti ini menandakan bahwa ada banyak rakyat Indonesia yang suka terhadap sastra dengan berbagai bentuknya.

Bukti perkembangan pecinta sastra yang begitu besar juga terkadang membuat ironis manakala ada bazar buku sepi pengunjung, ada perpustakaan tetapi pintunya tertutup rapat, dan buku-buku sastra diretur kembali ke penerbit karena minim pembeli.
Penulis juga menangkap kesan, ketika seseorang yang di pekerjakan di kantr perpustakaan atau di perpustakaan sekolah sudah tidak memiliki kebanggaan lagi.Belum lagi ketika perusahaan koran dan tabloid menutup kolom sastra karena sudah tak ada keseimbangan antara biaya pengelola tajuk sastra dengan oplah media itu yang makin berkurang.



Dialektika budaya baca seperti itu, membuat daya jual buku sastra perlu dicari format baru yang menjanjikan. Tayangan sastra di website atau buku elektronik tak dapat memberi harapan bagi penulis. Media cetak hanya pada media besar nasional dan tak memenuhi perbandingan dengan jumlah penulis yang banyak. Salah satu cara yang mungkin dapat diterima adalah menjadikan kegiatan sastra sebagai intertaiment. Kelemahan sisi ini adalah ketokohan seorang pelaku sastra harus pada posisi khusus kepopulairannya. Ia harus seperti artis layaknya sehingga tiap penampilannya memiliki sisi komersial. Dan ini tentu memerlukan perjuangan bila menjadi artis sastra populair. Pada giliran ini barulah karya penulis itu diminati dan mahal. Untuk menjadi artis sastra diperlukan tidak hanya piawai merangkai kata tetapi juga memiliki talenta lainnya seperti baca puisi, aksi panggung, bicara ,master ceremony atau berpenampilan secara prfesional.
Rg Bagus W, 6-3-16 
Foto : Riri Satria