Rg Bagus Warsono
Ditengah
rakyat Indonesia ternyata masyarakat sastra Indonesia itu lumayan banyaknya,
padahal era ini budaya baca khusus sastra terbilang sangat minim. Jadi sangat
aneh sekali bila budaya baca rendah tapi pecita sastra cukup banyak. Sebuah
pertanyaan sekaligus tantangan bagi para penulis sastra untuk menyikapi hal
ini. Apakah media baca sastra perlu diselaraskan dengan perkembangan teknologi
atau cara baru agar terpenuhinya sarana baca dan aktifitasnya untuk memberi penyediaan
sastra dan kegiatannya bagi masyarakat.
Sebagai
seorang yang berkecipung di pendidikan sangat yakin betul bahwa minat baca para
pelajar di semua jenjang sangat rendah. Kalau tidak 'diperintah untuk baca buku
sulitnya minta ampun. Apalagi secara kebutuhan mereka datang di perpustakaan
sekolah. Menurut Samsuni Sarman, dan Ali Arsy Kemendikbud pernah santer
mengkampanyekan perpustakaan di tahun 2000-an tetapi kini sudah kendor lagi.
Keadaan demikian ini perlu diupayakan methoda baru yang lebih mengena sasaran.
Tetapi juga akan sangat heran bila kita ketahui bahwa para pelajar juga banyak
yang mencintai sastra. Terbukti di setiap event lomba baca atau cipta
puisi/cerpen atau lainnya yang diselenggarakan di luar kegiatan sekolah atau
diluar program kemendikbud , banyak didapati peserta dari kalangan pelajar .
Perkembangan
masyarakat pecinta sastra sebetulnya meningkat tajam, hampir setiap
kota/kabupaten terdapat apa yang kita kenal sekarang dengan dewan kesenian yang
didalamnya terdapat bagian organisasi para seniman sastra. Belum lagi kelompok
dan sanggar-sanggar sastra. Dan akan lebih banyak lagi bila di berbagai media
sosial tumbuh banyak pecinta dan pelaku sastra.Bukti ini menandakan bahwa ada
banyak rakyat Indonesia yang suka terhadap sastra dengan berbagai bentuknya.
Bukti
perkembangan pecinta sastra yang begitu besar juga terkadang membuat ironis
manakala ada bazar buku sepi pengunjung, ada perpustakaan tetapi pintunya
tertutup rapat, dan buku-buku sastra diretur kembali ke penerbit karena minim
pembeli.
Penulis
juga menangkap kesan, ketika seseorang yang di pekerjakan di kantr perpustakaan
atau di perpustakaan sekolah sudah tidak memiliki kebanggaan lagi.Belum lagi
ketika perusahaan koran dan tabloid menutup kolom sastra karena sudah tak ada
keseimbangan antara biaya pengelola tajuk sastra dengan oplah media itu yang
makin berkurang.
Dialektika
budaya baca seperti itu, membuat daya jual buku sastra perlu dicari format baru
yang menjanjikan. Tayangan sastra di website atau buku elektronik tak dapat
memberi harapan bagi penulis. Media cetak hanya pada media besar nasional dan
tak memenuhi perbandingan dengan jumlah penulis yang banyak. Salah satu cara
yang mungkin dapat diterima adalah menjadikan kegiatan sastra sebagai
intertaiment. Kelemahan sisi ini adalah ketokohan seorang pelaku sastra harus
pada posisi khusus kepopulairannya. Ia harus seperti artis layaknya sehingga
tiap penampilannya memiliki sisi komersial. Dan ini tentu memerlukan perjuangan
bila menjadi artis sastra populair. Pada giliran ini barulah karya penulis itu
diminati dan mahal. Untuk menjadi artis sastra diperlukan tidak hanya piawai
merangkai kata tetapi juga memiliki talenta lainnya seperti baca puisi, aksi
panggung, bicara ,master ceremony atau berpenampilan secara prfesional.
Rg Bagus W, 6-3-16
Foto : Riri Satria
Foto : Riri Satria