Penjajah Belanda memang kejam, bengis, menindas, tak mempedulikan hak asasi, rakus, merampas , memperkosa dsb. Ada satu yang baik ditiru yaitu pola pendidikan pada masa penjajahan sangat baik dicontoh. Program beasiswa tidak setengah-setengah atau asal pura-pura memberi bantuan, tetapi beasiswa diberikan pada siswa yang cerdas dan diberikan kesempatan hingga belajar ke luarnegeri termasuk biaya hidupnya. Pola pendidikan pada masa penjajahan memang bagus, terutama sistem pengajarannya, Jangankan HIS, MULO, atau AMS yang merupakan pendidikan menengah, SR Ongko Loro (setingkat SD-lah) saja sudah pandai aljabar , maka wajar apabila pada saat itu Jendral Oerip Soemihardjo, Kepala Staf TKR kita memberikan syarat terendah yakni yang bisa baca tulis masuk Tamtama, yang SR masuk bintara, dan yang HIS masuk perwira ! Menginjak 70th merdeka aku menyaksikan ternyata bangsa kita sekarang berbalik justru berterima kasih kepada Belanda.
Belanda meningalkan bayak ilmu buat negeri ini, tidak seperti Jepang yang hingga saat ini masih saja ngobok obok duit rakyat kita. Ketika aku masih kecil tahun 70-an, doeloe, tetanggaku Pak Soegeng namanya ia biasa menghitung jarak sesungguhnya peta, mengukur tinggi pohon cemara tampa memanjat, sebuah ilmu yang mungkin harus dimiliki anak SMA/SMK padahal pak Soegeng hanyalah tamat HIS. Kemudian Pak Diro, begitu aku mengenalnya, ia pegawai kesehatan, ijasahnya hanya Sekolah Rakyat (SR) Ongko Loro , tetapi wawasan berfikirnya sunguh luar biasa, setiap pagi ia mendengarkan berita radio bukan dari RRI, tetapi mendengarkan BBC London, dan Suara Nederland atau Dodce Welles. Kemudian tetanggaku lagi namanya Pak Mulyono, ini tahun 70-an, Pak Mulyono beruntung menjadi pejabat di Depatemen PU, galaknya minta ampun, kata pegawai yang muda-muda ijazah Pak Mul hanya SMP (MULO) jaman Belanda, tetapi ia bisa mengatur anak-anak muda yang sudah bergelar insinyur! Walaupun berijasah SMP Pak Mul bisa menghitung teodolit, mengukur kecepatan angin, mengukur ketahanan fisik bangunan, suatu ilmu yang mungkin harus dimiliki oleh para insinyur yang memegang klasifikasi. Sunguh luarbiasa pendidikan jaman Penjajahan itu. Om Slamet adalah pamanku, Ia pernah jadi pegawai rendah di pelabuhan pada jaman Belanda, setelah merdeka Om saya berganti profesi, Walaupun Om saya HIS tidak tamat tetapi ia menguasai 3 bahasa asing Belanda, Inggris dan Jepang ! suatu hal yang jarang saat ini.
Anak-anak SMA sekarang boro-boro pandai bahasa Jepang , Bahasa Inggris saja masih 'pletat - pletot. Ini cerita orang tuaku doeloe ketika masih hidup, ia menceritakan bahwa peran Kepala Sekolah di pemerintahan sungguh luar biasa. Ketika murid-murid HIS tamat sekolah, kepala sekolah bisa merekomendasikan muridnya itu menjadi guru, pegawai kawedanaan, atau pegawai lainnya sesuai dengan bakat dan kemampuan muridnya. Bahkan ada juga yang direkomendasikan menjadi staf adm pabrik gula. Jika dipikir pendidikan kita merosot jauh ketimbang masa penjajahan doeloe. Anak-anak sekarang atau mungkin gurunya takut menghadapi Ujian Nasional. Sesuatu hal yang kalau dijabarkan adalah membuka aib sendiri bahwa murid dan guru tidak berhasil dalam melaksanakan kurikulum pendidikan ! Apalagi kini semarak ijazah palsu, ijazah instan, ijazah aspal, ijazah pesanan, sungguh sangat merosot pendidikan bangsa ini. Kenapa terjadi? karena sekarang jarang guru yang menjadi idola muridnya, tidak menghargai almamater, tidak menghargai guru, dan tidak mengukur kesesuaian pikir dengan ijazahnya ! Ciri orang memegang ijazah palsu adalah ketidaksesuaian ilmu yang dimilikinya dengan pola pikir yang diucapkan . Bukankah kita pernah mendengar ada anggota DPR statemennya ngawur dan kurang ilmiah, atau pernah melihat pejabat ngomongnya kaya 'bocah angon (penggembala) ! (Rg. Bagus Warsono)
Belanda meningalkan bayak ilmu buat negeri ini, tidak seperti Jepang yang hingga saat ini masih saja ngobok obok duit rakyat kita. Ketika aku masih kecil tahun 70-an, doeloe, tetanggaku Pak Soegeng namanya ia biasa menghitung jarak sesungguhnya peta, mengukur tinggi pohon cemara tampa memanjat, sebuah ilmu yang mungkin harus dimiliki anak SMA/SMK padahal pak Soegeng hanyalah tamat HIS. Kemudian Pak Diro, begitu aku mengenalnya, ia pegawai kesehatan, ijasahnya hanya Sekolah Rakyat (SR) Ongko Loro , tetapi wawasan berfikirnya sunguh luar biasa, setiap pagi ia mendengarkan berita radio bukan dari RRI, tetapi mendengarkan BBC London, dan Suara Nederland atau Dodce Welles. Kemudian tetanggaku lagi namanya Pak Mulyono, ini tahun 70-an, Pak Mulyono beruntung menjadi pejabat di Depatemen PU, galaknya minta ampun, kata pegawai yang muda-muda ijazah Pak Mul hanya SMP (MULO) jaman Belanda, tetapi ia bisa mengatur anak-anak muda yang sudah bergelar insinyur! Walaupun berijasah SMP Pak Mul bisa menghitung teodolit, mengukur kecepatan angin, mengukur ketahanan fisik bangunan, suatu ilmu yang mungkin harus dimiliki oleh para insinyur yang memegang klasifikasi. Sunguh luarbiasa pendidikan jaman Penjajahan itu. Om Slamet adalah pamanku, Ia pernah jadi pegawai rendah di pelabuhan pada jaman Belanda, setelah merdeka Om saya berganti profesi, Walaupun Om saya HIS tidak tamat tetapi ia menguasai 3 bahasa asing Belanda, Inggris dan Jepang ! suatu hal yang jarang saat ini.
Anak-anak SMA sekarang boro-boro pandai bahasa Jepang , Bahasa Inggris saja masih 'pletat - pletot. Ini cerita orang tuaku doeloe ketika masih hidup, ia menceritakan bahwa peran Kepala Sekolah di pemerintahan sungguh luar biasa. Ketika murid-murid HIS tamat sekolah, kepala sekolah bisa merekomendasikan muridnya itu menjadi guru, pegawai kawedanaan, atau pegawai lainnya sesuai dengan bakat dan kemampuan muridnya. Bahkan ada juga yang direkomendasikan menjadi staf adm pabrik gula. Jika dipikir pendidikan kita merosot jauh ketimbang masa penjajahan doeloe. Anak-anak sekarang atau mungkin gurunya takut menghadapi Ujian Nasional. Sesuatu hal yang kalau dijabarkan adalah membuka aib sendiri bahwa murid dan guru tidak berhasil dalam melaksanakan kurikulum pendidikan ! Apalagi kini semarak ijazah palsu, ijazah instan, ijazah aspal, ijazah pesanan, sungguh sangat merosot pendidikan bangsa ini. Kenapa terjadi? karena sekarang jarang guru yang menjadi idola muridnya, tidak menghargai almamater, tidak menghargai guru, dan tidak mengukur kesesuaian pikir dengan ijazahnya ! Ciri orang memegang ijazah palsu adalah ketidaksesuaian ilmu yang dimilikinya dengan pola pikir yang diucapkan . Bukankah kita pernah mendengar ada anggota DPR statemennya ngawur dan kurang ilmiah, atau pernah melihat pejabat ngomongnya kaya 'bocah angon (penggembala) ! (Rg. Bagus Warsono)