Sabtu, 22 April 2017

Puisi-puisi Lumbung Puisi Jilid V, 50-53



50.
Wadhie Maharief

Sajak Rindu

kurindu
suara dengkurmu
saat kupeluk
erat dirimu
di pembaringan hangat
kurindu
desah nafasmu
saat kupeluk
erat
dirimu
dengan cinta sahwat
kurindu
bisik lembutmu
saat kupeluk
erat
dirimu
meski
bau asin keringat
lekat
di lehermu
kesat....

---- Yogya 29 Maret 2017

Wadhie Maharief,
Sajak Gulang Guling
di kasur empuk
kau tergeletak
telanjang tanpa busana
padahal
tubuhmu tak lagi
molek
tak lagi mulus
bahkan
kendur dan keriput
tak lagi kencang berisi
seperti dulu
ketika masih tubuhmu
sintal
padat dan nyaman
dan tiap malam
dalam pelukan
menggairahkan
walau begitu
bau apek dan dingin
sepi dan kantuk
memaksaku
untuk tetap memelukmu
wahai.....
gulingku......!
--- Yogya 29 Maret 2017
Wadhie Maharief,

Di Kasur Empuk

di kasur empuk
kau tergeletak
telanjang tanpa busana
padahal
tubuhmu tak lagi
molek
tak lagi mulus
bahkan
kendur dan keriput
tak lagi kencang berisi
seperti dulu
walau begitu
bau apek
dan dinginmu
sepi dan kantuk
memaksaku
untuk tetap memelukmu
wahai.....
gulingku......!

Wadhie Maharief, lahir di Prabumulih Sumatera Selatan 13 Maret 1955, puisi, esai, dan cerpennya banyak dimuat di media regional dan nasiopnal, turut dalam beberapa antologi bersama nasional.



51.
Wardjito Soeharso
Seksologi Kelamin

Seks itu penanda beda
Laki2 atau perempuan
Pria atau wanita
Sebutannya juga beda
Mbah Kung atau Mbah Ti
Bapak atau Ibu
Thole atau Genduk
Kuncung atau Bawuk

Seks itu nama kelamin
Lingga atau yoni, nama lokalnya
Penis atau vagina, nama globalnya
Sudah ditakdirkan jadi pasangan
Maka yang satu pasti mencari yang lain
Bila menyatu, keduanya menjaga kehidupan
Bila terpisah, tentu muncul masalah
Mereka akan saling rindu, saling memimpikan
Pada puncaknya jemari tangan yang pasti bermain
Meremas dan menggelitik
Mencari kepuasannya sendiri

Begitulah ketika seks hanya dimaknai kelamin
Dilihat sekedar berfungsi rekreasi
Dipakai mencari nikmat sesaat
Seperti magma di bawah gunung api
Yang selalu mampu muntahkan lahar panas
Merusak anak sungai induk hutan
Menghangus arangkan segala kehidupan
Hingga garis hubung asal muasal sulit dikenali lagi

Maka menyatulah lingga dan yoni
Merapatlah penis dan vagina
Hanya di bawah naungan janji suci
Jalankan tugas dalam wadah prokreasi
Menjadi panutan sejati
Terus menjaga kehidupan tetap lestari

14.01.2017 - 21:11




















Wardjito Soeharso
Between Sewot and So Wet

ketika kurayu kamu
kamu begitu sewot
ketika kuelus kamu
kamu begitu so wet
ah, ternyata rayuan
tak penting buat kamu
daripada melulu sewot
so, let's get wet!

21.11.2015
Wardjito Soeharso, Penyair asal Semarang, berbagai karya yang pernah diterbitkan antara lain: Antologi Puisi Mendung Di Atas Kota Semarang (Indie,1983), Penerbitan Pers di Indonesia: Dari Undang-Undang Sampai Kode Etik (Aneka Ilmu, Semarang, 1993), Antologi Puisi Penulismuda (Media E-Solusindo, Semarang, 2007), Yuk, Nulis Puisi (PNRI, Surabaya, 2008), Yuk, Nulis Artikel (Media E-Solusindo, Semarang, 2009), Phantasy Poetica-Imazonation (pm-publisher, Semarang, 2010), Ide, Kritik, Kontemplasi (pm-publisher, Semarang, 2010), Puisi Menolak Korupsi Seri I-II (Antologi Bersama Penyair Indonesia, Forum Sastra Surakarta: 2013-201), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (Antologi Puisi Bersama Penyair Indonesia, HMGM: 2014), Antologi Bersama Pengantin Langit (BNPT dan Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta: 2014,  Puisi: Medium Komunikasi dalam Pembelajaran (Azzagrafika, Yogya,2015). Dan banyak artikel lepas yang dimuat di berbagai media massa.

52.
Winar Ramelan
Lingga Yoni

aku bukan pendosa
sekali lagi kukatakan, aku bukan pendosa!
merinduimu begitu rupa
si pemilik atma, si pemilik lingga  

bukan desah yang tersuguh
luapan birahi merah
melingkarimu dengan derap dan keringat
lalu mengerling sayu penuh kemanjaan  

tubuhku bentang alam semesta
tempat bermunajat dan bertamasya
menjadilah relasiku dalam tarian erotis
ritual sakral yang paling ibu 

yoniku
linggamu
mendaki dalam tangga tangga spiritual
penuh estetika
haru juga senang dalam temu yang paling gebu
lahirlah padma di telaga kehidupan

2017





Winar Ramelan

Bila ini Tanda Cinta

 “Mari kita satukan kelamin-kelamin kita sebagai tanda cinta”
Disatukan dengan cara apa?
Apakah seperti adonan roti?
Ada lembut tepung
Butiran kristal manis
Pelicin mentega
Diaduk-aduk hingga berbusa
Diuleni hingga gembur
Dipilin-pilin hingga melintir
Dipanggang dalam perapian
Hingga aroma gosong kelelahan
Bila ini tanda cinta
Bukan hanya kelamin yang kita satukan
Tetapi, menjadilah permadani yang terdampar
Tempat aku meletakkan tanganku
Kaki, juga kepalaku yang berisi pikiran
Aku dalam pangkumu
Kita sua dalam ciuman semanis karamel tahan lama
Atau di gurih kuah berkaldu
Di situ kesepakatan demi kesepakatan terbangun
Andai di berdiri kita
Hanya ada semangkok sambal beraroma terasi yang menyengat
Bukankah itu bumbu penyedap
Untuk mempertemukan kita pada lidah yang meliuk hangat
2017
Winar Ramelan
Mencari Titimangsa
Maukah kau kujadikan gulai untuk santap malamku
Kuah santan kental akan bercampur dengan liur di mulutku
Sedikit pedas
Sedikit asin
Sedikit manis 
Dan seribu gurih
Kucecap, kusesap rusukmu
Kuseruput sampai tandas
Bersamamu, menjadi santapan tanpa lemak
Karena lambaiku adalah nyiur
Pinggangku beting- beting
Tempat kelindan seluruh rasa
Maukah kau kujadikan gulai malam ini
Kuah santan kental yang bercampur liur di mulutku
2017













Winar Ramelan

Mari Kita Telanjang

Mari kita telanjang 
Dan bergumul dengan benar 
Tak perlu ada lengkingan-lengkingan yang bisa membuyarkan ketakziman

2017 








Winar Ramelan lahir di Malang 05 Juni, kini tinggal di Denpasar. Menulis kumpulan puisi tunggal dengan judul Narasai Sepasang Kaos Kaki. Puisinya pernah di muat harian Denpost, Bali Post, majalah Wartam, konfrontasi.com, Sayap Kata, Dinding Aksara, detakpekanbaru.com. Antologi bersama Palagan, Untuk Jantung Perempuan, Melankolia Surat Kematian, Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta, Tifa Nusantara 3, Puisi Kopi Penyair Dunia, Pengantin Langit 3.









53.
Zaeni Boli

Persetubuhan kita

Jika surga
Bidadari telanjang
Buah buah menghampiri diriku
Aku tetap merindukan
Persetubuhan kita
2017




Zaeni Boli

Inner

Kecantikan lahir dari dalam
Kecerdasan adalah keseksian lain
Tak kuingat bentuk bibirmu
Di kedai tempat aku jatuh cinta padamu

Menggodaku menuliskan puisi cinta untukmu
2017







Zaeni Boli

Puting Ibu

Apa yang lebih sutra
Tubuh tubuh telanjang
Atau berita di Televisi
Warna koran  warna warni
Puting Ibu digigit bocah
Yang tak pernah  bisa mengeja Indonesia Raya

2017










Moh Zaini Ratuloli (zaeniboli)
Tempat tgl lahir: Flores,29-08-1982
Belajar membaca puisi sejak 1989 ,belajar menulis puisi sejak 2002 biasa menulis dihalaman facebook ,tapi beberapa karyanya juga pernah ikut di Antologi Puisi menolak korupsi (Jilid 2b dan jilid 4),Memandang Bekasi 2015,Sakarepmu 2015,Capruk Soul jilid 2,Antologi Puisi Klukung 2016  dan Koran maupun bulletin lokal di Bekasi .sejak 2013 akhir hingga sekarang tergabung dalam komunitas Sastra Kalimalang(Bekasi) sebagai Inventaris karya.

Daftar Penyair dan Asal Daerah Lumbung Puisi Jilid V Rasa Sejati 2017



Sampul Belakang
Daftar Penyair dan Asal Daerah
Lumbung Puisi Jilid V  Rasa Sejati 2017

1. Aang A.K (Jakarta)
2. Abu Ma’mur MF (Brebes)
3. Ade Sri Hayati (Indramayu)
4.  Andi Surya (Bogor)
5. Agung Wig Patidusa (Semarang)
6. Agus Sighro Budiono (Bojonegoro)
7. Agustav Triono (Banyumas)
8. Af Dhal, Heran (Muara Bungo, Jambi)
9. Anggoro Suprapto ( Semarang)
10. Artvelo Sugiarto (Semarang)
11. Arya Setra (Jakarta)
12. Asep Dani (Cianjur)
13. Bayu Aji Anwari (Semarang)
14. Dasuki Kosim (Indramayu)
15. Djemi Tomuka(Manado)
16. Eddy Pramduane (Jakarta)
17. Eko Saputra Poceratu (Ambon)
18. Eri Syifratmin (Muara Bungo)
19. Gampang Prawoto (Bojonegoro)
20. Harmany (Pamekasan)
21. Hasan Maulana A. G (Subang)
22. Marthen Luther Reasoa, (Ambon Maluku)
23. Mohamad Amrin/Amrin Moha (Cirebon)
24. Mohamad Iskandar (Demak)
25. Muhammad   Daffa,  (Banjarbaru)
26.Muhammad Lefand (Jember)
27. Muakrim M Noer ( P Buru)
28. Munadi Oke (Pesisir Selatan Sumatera Barat)
29. Najibul Mahbub (Pekalongan)
30. Ni Made Rai Sri Artini (Denpasar)
31. Novia Rika (Jakarta)
32. Nunung  Noor El Niel (Denpasar, Bali)
33. Nur Komar (Jepara)
34. Osratus (Sorong)
35. Rahmat Basuni (Solo)
36. Riswo Mulyadi (Banyumas)
37. Salimi Ahmad (Jakarta)
38. Sami’an Adib (Jember)
39. Sapin (Majalengka)
40. Senandung Pusara/Eka Rs (Tasikmalaya)
41. Shonhaji Muhammad  (Sidoarjo)
42. Slamet Unggul (Semarang)
43. Sokanindya Pratiwi Wening (Aceh)
44. Suhaeli (Indramayu)
45. Supi El-Bala (Tangerang)
46. Syahriannur Khaidir (Sampang)
47. Syarif hidayatullah (Banjarmasin)
48. Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo)
49. Tosa Poetra (Trenggalek)
50. Wadhie Maharief (Jogyakarta)
51. Wardjito Soeharso (Semarang)
52. Winar Ramelan (Denpasar Bali )
53. Zaeni Boli (Bekasi)

Jumat, 21 April 2017

Habis Gelap Terbitlah Terang





Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht . Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Kartini mendapatkan inspirasi dari kalimat Kitab Sucinya 'mina dulumati ila nuur'.[rujukan?]
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Senin, 17 April 2017

Sejarah Singkat RA Kartini

Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879. Ayahnya adalah Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat, yang tercatat merupakan salah seorang dari 4 orang berpangkat Kanjeng Bupati yang ketika itu mampu membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa Belanda. Dengan status jabatan ayahnya yang tinggi memungkinkan bagi Kartini untuk bersekolah. Namun ada batasan yang tidak mungkin rasanya untuk dilanggar, sekalipun Ia anak Bupati: masa sekolahnya harus ‘tamat’ ketika usianya telah menginjak 12 tahun. Wanita berusia 12 tahun harus dipingit. Tidak diperkenankan keluar rumah lagi. Tugasnya hanya tinggal menunggu lelaki yang kelak datang untuk melamarnya. Ia akan membentuk keluarga baru. Dan kelak jika Ia mempunyai anak perempuan, ia pun akan menerapkan ‘sistim’ itu pula guna melestarikan adat istiadat leluhur. Begitu yang terjadi pada wanita Jawa waktu itu dan begitu pula yang harus dilakukan Kartini. Padahal Kartini mempunyai cita-cita yang amat tinggi. Ia ingin menjadi guru.
Ketika memasuki masa ‘penantian’ lelaki yang akan datang melamarnya, Kartini masih diperbolehkan ‘berteman’ dengan buku. Namun justru karena ‘teman’ nya itu wawasan dan pengetahuannya malah semakin terbuka. Ia malah semakin mengerti, adat-istiadat yang harus dipegangnya teguh-teguh ternyata erat-erat membelenggunya. Adat istiadat itu berlawanan dengan kodratnya sebagai manusia. Ia sangat yakir. Tuhan tidak pemah sekali-kali salah menciptakan dirinya sebagai manusia berjenis kelamin wanita. Yang jelas salah adalah makhluk ciptaan Tuhan bernama manusia yang menciptakan adat istiadat itu! Adat istiadat yang membuat cita-citanya menjadi guru laksana menyentuh langit!
Kartini sangat gelisah. Berulang-ulang Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa kaum lelaki tidak harus mengalami seperti yang dialami diri dan kaumnya? Namun ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan kegelisahannya. Yang ia tahu, itu semua karena adanya pagar teramat kuat bernama adat-istiadat. Itu saja.
Terbetik pula keinginan Kartini untuk melompati pagar teramat kuat itu dan ia yakin mampu melakuk annya. Ia merasa mampu mengejar cita-citanya menjadi guru. Namun yang tidak mampu dan tidak mungkin dilakukannya adalah mencorengkan arang di kening orang tuanya. Pendobrakannya pada adat istiadat sudah pasti akan membuat orang tuanya mendapat malu dan kehinaan yang sangat. Jelas Ia tidak berani dan juga tidak berniat membuat ayah dan ibunya mendapat malu dan kehinaan atas kelakuannya. Namun, apa yang harus Ia lakukan? Kartini tidak tahu jawaban pastinya. Dan itu semakin membuatnya gelisah.
Segala yang meresahkan hatinya, segala yang memenuhi benak dan pikirannya serta segala yang dirasakannya dengan kodratnya sebagai wanita Jawa diungkapkannya melalui surat-surat yang lantas dikirimkannya ke teman dekatnya, Abendanon, yang menjadi Direktur Pengajaran Belanda. Kelak, kumpulan surat-surat Kartini itu dibukukan dan diberi judul Door Duistemis tot Licht(Habis Gelap Terbitlah Terang). Selain surat pribadi kepada Abendanon, Kartini juga mengirimkan surat permohonan untuk mendapatkan bea siswa untuk bersekolah di Belanda.

Dalam masa pingitan, Kartini memang sempat ‘melawan’ pagar kuat itu. Perlawanannya ditunjukkannya dengan membuka Sekolah bagi ának-anak perempuan yang tinggal di sekitar kediamannya. Ia mengerti, amat banyak perempuan yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan. Ia ingin berbagi. Diajarinya anak-anak perempuan itu membaca, berhitung, menyanyi dan aneka keterampilan layaknya yang biasa didapatkan di sekolah. Ia sangat senang bisa berbuat itu. Kepuasannya menjadi ‘guru’ sejenak mengobati kerinduannya untuk menjadi guru yang sesungguhnya.

Pagar kuat bernama adat istladat itu hampir saja bisa dilompati Kartini ketika datang surat dari Belanda yang mengabulkan permohonannya untuk bersekolah di Belanda. Bea siswa telah tersedia untuknya. Cita citanya menjadi guru bukan lagi seperti menyentuh langit baginya. Namun surat itu datang tidak tepat waktu. Masa pingitannya hampir berakhir. Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat telah siap menjadi suaminya. Ia harus memasuki pintu rumah tangganya sendiri. Cita-citanya menjadi guru kembali laksana menyentuh langit!
Sekalipun dari balik tembok pingitan namun Kartini tahu, ada seorang pemuda cerdas yang sangat membutuhkan bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu bukan berasal dari sukunya. Ia berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Agus Salim namanya. Kartini ingin berbuat baik bagi sahabat Sebangsanya itu. Ia pun kembali mengirimkan surat ke Belanda dan memohon agar bea siswa itu diberikan kepada Agus Salim. Sayang, Agus Salim tidak memanfaatkan kebaikan Kartini itu dengan alasan yang hanya Agus Salim sendiri saja yang tahu.
Kartini seketika melupakan keindahan suasana belajar di negeri Belanda ketika ia telah membuka pintu rumah tangganya sendiri. Ia telah bersuami. Ia telah menjadi milik seorang lelaki. Ia harus melayani lelaki itu dengan sebaik-baiknya seperti yang dilakukan ibunya terhadap ayahandanya. Sayang, usia Kartini tidak sepanjang angan-angan dan harapannya. 3 hari sesudah melahirkan putranya, Kartini kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta dalam usianya yang terbilang sangat muda, 25 tahun. Ia meninggal dunia 17 September 1904. Raden Ajeng Kartini telah tiada. Keinginannya untuk melompati pagar kuat bemama adat istiadat itu kini telah diwakili perempuan-perempuan Indonesia. 
Habis Gelap Terbitlah Terang benar-benar menjadi kenyataan. Kondisi ‘gelap’ yang dialami Kartini telah berubah ‘terang benderang’ bagi perempuan-perempuan Indonesia lainnya. Itulah jasa besar Kartini yang tiada mungkin dilupakan oleh perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi bebas sebebas-bebasnya untuk meraih apapun juga yang menjadi cita-citanya. Perjuangan yang dilakukan Raden Ajeng Kartini sangat dihargai Pemerintah Indonesia hingga putrid Jepara yang cantik itu dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964.