Sabtu, 16 November 2019

Penggusuran di dunia Sastra.



JIka Anda mendengan kata ini, Anda membayangkan penderitaan mereka yang digusur. Dan pada kata "Ganti Rugi" akan melupakan penggusuran itu dan bahkan kegembiraan yang ada.

Sebetulnya penggusuran dan ganti rugi sama-sama memiliki dampak lingkungan yakni memperluas area penguasa dan mempersempit 'sosial kehidupan masyarakat di daerah itu.

Di kalangan ekonomi lemah, kata ganti rugi justru 'diarep-arep tanpa memikirkan dampak,. Sebuah respon masyarakat yang tidak berfikir jauh ke depan. Padahal dengan penggusuran itu ruang gerak kehidupan sosial masyarakat menjadi sempit. Ada yang kehilangan mata pencaharian, bahkan kehilangan budaya di suatu tempat.

Jangan berkata bahwa penggusuran itu untuki memperbaiki lingkungan dan pencegahan banjir. Sebagai contoh kembalikan Jakarta pada 100 tahun lalu, ketika belum banyak gedung megah, Jakarta tidak mengalami banjir berkepanjangan. Ketika hujan lebat datang, satu dua hari sudah surut. Dan Ciliwung tidak pernah disalahkan.

Jadi tetap banjir itu bukan karena masyarakat kecil tetapu karena ulah para penguasa juga dan orang-orang kaya.

Bicara penggusuran, di dunia sastra pun terjadi manakala kekuatan raksasa media dan kekuatan ekonomi si kaya yang mampu menggusur kearifan lokal budaya khusus sastra di Tanah Air ini. Yaitu ketika media koran mulai tersisih. Doeloe penyair memiliki tradisi dimuat di koran sebagai tempat menuangkan karyanya disamping mendapatkan upah honorarium, dan sekarang tradisi ini mulai menurun dratis. Ruang penyaluran karya ini dugusur oleh media elektronik.

Penggusuran pun kembali di dunia sastra yaitu banyak dilalangan pelaku sastra penyair dan sastrawan lainnya yang karena sudah tua tak dapat bertahan dan hilang dari peredaran serta namanya nyaris disebut manakala hilangnya ladang pendapatam kritikus di koran.

(rg bagus warsono, 16-11-19)