Sajian nasional informasi ilmu pengetahuan dan teknologi ,informasi umum, informasi pendidikan dan budaya.
Laman
- REDAKSI
- Berita Hari Ini
- Daftar Propinsi di Indonesia
- Daftar Negara-negara di Dunia
- Sastrawan Indonesia
- Daftar Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia
- Kumpulan Syair Lagu Keroncong
- Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia
- Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kementerian
- Daftar Penerima Nobel
- Daftar Gunung di Indonsia
- Daftar Juara All England
- Daftar Juara Thomas Cup
- Daftar Presiden Amerika Serikat
- Daftar Lagu Nasional
- Daftar Sastrawan
- Penyair Tadarus Puisi
Minggu, 24 November 2019
Senin, 18 November 2019
Sabtu, 16 November 2019
Penggusuran di dunia Sastra.
JIka Anda mendengan kata ini, Anda membayangkan penderitaan mereka yang digusur. Dan pada kata "Ganti Rugi" akan melupakan penggusuran itu dan bahkan kegembiraan yang ada.
Sebetulnya penggusuran dan ganti rugi sama-sama memiliki dampak lingkungan yakni memperluas area penguasa dan mempersempit 'sosial kehidupan masyarakat di daerah itu.
Di kalangan ekonomi lemah, kata ganti rugi justru 'diarep-arep tanpa memikirkan dampak,. Sebuah respon masyarakat yang tidak berfikir jauh ke depan. Padahal dengan penggusuran itu ruang gerak kehidupan sosial masyarakat menjadi sempit. Ada yang kehilangan mata pencaharian, bahkan kehilangan budaya di suatu tempat.
Jangan berkata bahwa penggusuran itu untuki memperbaiki lingkungan dan pencegahan banjir. Sebagai contoh kembalikan Jakarta pada 100 tahun lalu, ketika belum banyak gedung megah, Jakarta tidak mengalami banjir berkepanjangan. Ketika hujan lebat datang, satu dua hari sudah surut. Dan Ciliwung tidak pernah disalahkan.
Jadi tetap banjir itu bukan karena masyarakat kecil tetapu karena ulah para penguasa juga dan orang-orang kaya.
Bicara penggusuran, di dunia sastra pun terjadi manakala kekuatan raksasa media dan kekuatan ekonomi si kaya yang mampu menggusur kearifan lokal budaya khusus sastra di Tanah Air ini. Yaitu ketika media koran mulai tersisih. Doeloe penyair memiliki tradisi dimuat di koran sebagai tempat menuangkan karyanya disamping mendapatkan upah honorarium, dan sekarang tradisi ini mulai menurun dratis. Ruang penyaluran karya ini dugusur oleh media elektronik.
Penggusuran pun kembali di dunia sastra yaitu banyak dilalangan pelaku sastra penyair dan sastrawan lainnya yang karena sudah tua tak dapat bertahan dan hilang dari peredaran serta namanya nyaris disebut manakala hilangnya ladang pendapatam kritikus di koran.
(rg bagus warsono, 16-11-19)
Tiga Dara, karya Rg Bagus Warsono
Tiga Dara,
tiga dara anak anak Bali
Dalam kecak di latar pure
menghadang dolar orang orang bule
Tiga dara bola mata
seserius pandang menatap
dua jari ditekuk lalu jarinya mekar
menerkam
Tiga dara dalam alunan
terdengar sayup mengumpulkan orang orang
berhenti dari berjalan
diam dari bicara
tersenyum kagum.
Kemudian Tiga dara dilukis
kali ini bukan Isi dompet bule dan turis lokal
tetapi galery ke galery yg menentukan.
Kalian Tiga dara lokal yg tiba tiba melejit dan menghilang.
Minggu, 10 November 2019
Anisah Menulis Puisi dengan Nuansa Kearifan Lokal
Puisi dengan Nuansa Kearifan Lokal
(sebuah pengantar puisi-puisi Anisah)
Sebuah rekam jejak yang baik bagi seorang penyair daerah dengan karya menasional yaitu melekatkan namanya dengan kondisi tempat tinggalnya. Sebuah teknik pengenalan nama penyair yang kokoh sekokoh dan abadi nama daerahnya.
Banyak orang (penyair) bermimpi bahwa ibukota menjadi corong yang baik popularitas seseorang. Ternyata di masa ini anggapan itu adalah kekeliruan. Justru daerah menjadi pijakan yang baik untuk menuju tangga popularitas nasional. Berikut kita tampilkan puisinya :
Anisah
Candi Borobudur
Berdiri tegak di perut Bukit Menoreh
Penuh pesona
Menggelora
Di hati semua
Wisatawan datang silih berganti
Menimati kemegahan
Warisan nenek moyang yang adi guna
Zaman kebodohan
Zaman kemaksiatan
Terbentang dalam Kamadatu
Melalui proses masyarakat nenuju situasi kebajikan
Akhinya tibalah
Mencapai tahap Arupadatu
Srumbung, November 2019
Anisah
Relief Borobudur
Di tepi hutan
Hiduplah kera dan kerbau
Selalu bersama
Kerjanya
Tapi
Kera nakal
Mengganggu
Menggoda
Selalu
Pada kerbau
Kerbau tidur
Kera pun
Naik ke punggungnya
Lalu
Menarik-narik kupingnya
Kerbau minum
Di sungai
Ekor ditarik kera
Saat merumput
Kera mengambil ranting
Dan
Menusuk
Sang kerbau
Kerbau sabar
Tak hiraukan
Kera nakal
Hingga kera
Penasaran
Mengapa tak ada balasan dari Sang Kerbau
Yaksa datang dan bertanya
Mengapa kerbau
Diam?
Yaksa, kera sahabatku
Ia lemah
Walau nakal
Harus dilindungi
Yaksa menurunkan kera dari punggung
Yaksa
Memberi mantra
Pada sang kerbau
Agar terlindung
Dari
Bahaya
Bencana
Yang mengancam
Borobudur, November 2019
Kearifan lokal yang diangkat dalam puisi-puisi Anisah, seorang pustakawan di sebuah sekolah menengah pertama, yang tekun dibidangnya namun juga jeli melihat sekeliling sebagai sesuatu yang layak dijual. Di daerahnya di lembah Merapi yang berdeklatan dengan Boroibudur dengan nilai-nilai tradisi yang melekat serta budaya masyarakat kampung memapu diketengahkan dalam proses pencariannya sebagai penyair yang tidak saja mampu berbicara lewat puisi tetapi juga mampu memberi warna sastra saat ini dimana nilai-nilai kearifan lokal itu diserap lewat puisi (bersambung)
(sebuah pengantar puisi-puisi Anisah)
Sebuah rekam jejak yang baik bagi seorang penyair daerah dengan karya menasional yaitu melekatkan namanya dengan kondisi tempat tinggalnya. Sebuah teknik pengenalan nama penyair yang kokoh sekokoh dan abadi nama daerahnya.
Banyak orang (penyair) bermimpi bahwa ibukota menjadi corong yang baik popularitas seseorang. Ternyata di masa ini anggapan itu adalah kekeliruan. Justru daerah menjadi pijakan yang baik untuk menuju tangga popularitas nasional. Berikut kita tampilkan puisinya :
Anisah
Candi Borobudur
Berdiri tegak di perut Bukit Menoreh
Penuh pesona
Menggelora
Di hati semua
Wisatawan datang silih berganti
Menimati kemegahan
Warisan nenek moyang yang adi guna
Zaman kebodohan
Zaman kemaksiatan
Terbentang dalam Kamadatu
Melalui proses masyarakat nenuju situasi kebajikan
Akhinya tibalah
Mencapai tahap Arupadatu
Srumbung, November 2019
Anisah
Relief Borobudur
Di tepi hutan
Hiduplah kera dan kerbau
Selalu bersama
Kerjanya
Tapi
Kera nakal
Mengganggu
Menggoda
Selalu
Pada kerbau
Kerbau tidur
Kera pun
Naik ke punggungnya
Lalu
Menarik-narik kupingnya
Kerbau minum
Di sungai
Ekor ditarik kera
Saat merumput
Kera mengambil ranting
Dan
Menusuk
Sang kerbau
Kerbau sabar
Tak hiraukan
Kera nakal
Hingga kera
Penasaran
Mengapa tak ada balasan dari Sang Kerbau
Yaksa datang dan bertanya
Mengapa kerbau
Diam?
Yaksa, kera sahabatku
Ia lemah
Walau nakal
Harus dilindungi
Yaksa menurunkan kera dari punggung
Yaksa
Memberi mantra
Pada sang kerbau
Agar terlindung
Dari
Bahaya
Bencana
Yang mengancam
Borobudur, November 2019
Kearifan lokal yang diangkat dalam puisi-puisi Anisah, seorang pustakawan di sebuah sekolah menengah pertama, yang tekun dibidangnya namun juga jeli melihat sekeliling sebagai sesuatu yang layak dijual. Di daerahnya di lembah Merapi yang berdeklatan dengan Boroibudur dengan nilai-nilai tradisi yang melekat serta budaya masyarakat kampung memapu diketengahkan dalam proses pencariannya sebagai penyair yang tidak saja mampu berbicara lewat puisi tetapi juga mampu memberi warna sastra saat ini dimana nilai-nilai kearifan lokal itu diserap lewat puisi (bersambung)
Bibi dari Chairil Anwar itu Kini Pahlawan Nasional
Roehana Kuddus Bibi dari Chairil Anwar itu Kini Pahlawan Nasional
Hari Pahlawan
Presiden untuk Hari Pahlawan 2019 ini telah menetapkan 6 pahlawan nasional baru , mereka adalah Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, DR (HC) MR. A.A Maramis, dan KH. Masjkur.
Dari nama-nama Pahlawan yang baru ditetapkan itu terdapat nama yang telat untuk segera diberikan gelar pahlawan dan juga ada yang juga pahlawan yang pantas diberikan gelar pahlawan namun namun tidak tepat untuk kelayakan sebagai tarap pahlawan nasional.
Sebagaimana yang presiden yang lalu-lalu sejak masa Soeharto penetapan gelar pahlawan selalu bernuansa kepentingan dan politik sang penguasa.
Tiga nama terakhir : Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, DR (HC) MR. A.A Maramis, dan KH. Masjkur adalah tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi peranannya dalam perjuangan klemerdekaan, meski kadang garis pandangan yang berbeda, namun mereka adalah pejuang nasionalis dan pemerintah terlambat memberikan gelar pahlawa nasional pada mereka bertiga.
Sedang Prof. Dr. M. Sardjito, memanga layak untuk diberikan grelar pahlawan karena peranannya yang kini memiliki pengaruh dampak nasional.
Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, adalah pahlawan yang jarang disebut dalam kurun waktu 74 th setelah merdeka dan baru kali ini di ketengahkan. Ruhanna Kudus adalah jurnalis di zaman Hindia belanda yang tak lain adalah Bibi dari Chairil Anwar.
Keterlambatan pemberian penghargaan pahlawan nasional hingga 74 tahun setelah kemerdekaan adalah tertutupnya budi hati manusia Indonesia yang mengutamakan kepentingan golongan dan isi perut ketimbang memberi penghargaan.
Masih banyak para pejuang di seluruh Tanah Air ini yang sangat berjasa belum terangkat, namun juga banyak yang terangkat sebagai pahlawan namun poeranannya tidak menasional. (Rg Bagus Warsono, 10-11-19 ayokesekolah.com)
Hari Pahlawan
Presiden untuk Hari Pahlawan 2019 ini telah menetapkan 6 pahlawan nasional baru , mereka adalah Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, DR (HC) MR. A.A Maramis, dan KH. Masjkur.
Dari nama-nama Pahlawan yang baru ditetapkan itu terdapat nama yang telat untuk segera diberikan gelar pahlawan dan juga ada yang juga pahlawan yang pantas diberikan gelar pahlawan namun namun tidak tepat untuk kelayakan sebagai tarap pahlawan nasional.
Sebagaimana yang presiden yang lalu-lalu sejak masa Soeharto penetapan gelar pahlawan selalu bernuansa kepentingan dan politik sang penguasa.
Tiga nama terakhir : Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, DR (HC) MR. A.A Maramis, dan KH. Masjkur adalah tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi peranannya dalam perjuangan klemerdekaan, meski kadang garis pandangan yang berbeda, namun mereka adalah pejuang nasionalis dan pemerintah terlambat memberikan gelar pahlawa nasional pada mereka bertiga.
Sedang Prof. Dr. M. Sardjito, memanga layak untuk diberikan grelar pahlawan karena peranannya yang kini memiliki pengaruh dampak nasional.
Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, adalah pahlawan yang jarang disebut dalam kurun waktu 74 th setelah merdeka dan baru kali ini di ketengahkan. Ruhanna Kudus adalah jurnalis di zaman Hindia belanda yang tak lain adalah Bibi dari Chairil Anwar.
Keterlambatan pemberian penghargaan pahlawan nasional hingga 74 tahun setelah kemerdekaan adalah tertutupnya budi hati manusia Indonesia yang mengutamakan kepentingan golongan dan isi perut ketimbang memberi penghargaan.
Masih banyak para pejuang di seluruh Tanah Air ini yang sangat berjasa belum terangkat, namun juga banyak yang terangkat sebagai pahlawan namun poeranannya tidak menasional. (Rg Bagus Warsono, 10-11-19 ayokesekolah.com)
Langganan:
Postingan (Atom)