Sabtu, 03 September 2016

Lumbung Puisi Jilid IV



Navys Ahmad


Monolog Para Pembangun Rumah Tanah

saudara-saudara bangsa manusia
berjuta tahun lalu kami membangun rumah tanah
di alas warisan nenek moyang ratu induk
rumah yang menumbuh dari ludah-ludah
yang merekat kuat bertingkat-tingkat
berkamar-kamar yang di dalamnya
kami bertelur, beranak-pinak
cucu-mencucu, cicit-mencicit.

berjuta tahun lalu kami bahu-membahu
kaki-mengkaki, tangan-menangan
dalam racauan kemelut suara alam
dalam tiupan hujan tarian topan
rumah kami tak hancur
rumah kami hanya merapuh.

di alas ini kami taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah pohon
tak ada yang menyembunyikan
tak ada yang mengambil hak bersama
tak ada yang menyakiti saudara.

saudara-saudara bangsa manusia
kami yang bicara sekarang
adalah generasi cicit jutaan tahun
dari cicit cicitnya cicit moyang kami
para pembangun rumah tanah
di alas warisan moyang ratu induk.

di alas baru ini kami tetap taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
kami tetap bahu-membahu
menyatukan tangan dan kaki kami yang kecil
di antara tarian sendok semen
di antara deruan buldozer
di antara derap selinder.

kami sekarang membangun rumah tanah
di atas lantai semen, konblok, tembok
marmer, keramik, granit, plastik
dan kami terus bekerja
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah semen.

kulit jari-jari tangan kami melepuh
gigi-gigi kami gemetar gemeretak
beberapa tanggal gusinya berdarah.

saudara-saudara bangsa manusia
kami para pembangun rumah tanah
telah kehilangan tanah
tapi tak pernah kehilangan
nyala merah dalam darah.

Tangerang, 23-7-2016


 
Navys Ahmad

Salam dari Kami

jika kau tebang ratusan rumah pohon kami
di manakah anak-cucu kami kelak berayun
berloncatan, bahkan terkadang terjatuh

mereka begitu polos tak pernah paham masa depan
tak ambil pusing masalah berat yang menimpa
yang mereka pikirkan adalah bermain dan makan
bermain di atas dedaun rimba raya dan menikmati
hidangan berkah alam raya di bawah kucuran hujan

mereka tidak seperti kami para orang tua yang meratap
meratap pada nasib meratap pada hukum alam keseimbangan

ya, kami telah banyak makan buah kesabaran atas tumbanganya
rumah-rumah harapan kami yang digergaji mesin, dibelah, dihiris
lalu dibawa ke kota-kota peradaban yang melindunghangatkan

anak-anak para penghuninya begitu cinta dan mesra
sedangkan anak-anak cucu kami terpasung di batang hitam
tertusuk asap tebal, terkapar mengerang di hamparan arang.


Ni Made Rai Sri Artini

Balada Jalak Bali

Ingin ku bertanya padamu beberapa hal
tentang duka yang merambati pagar matanya
tentang piala kecemasan yang selalu bertamu di kedua sayap kecilnya

Warna biru yang melingkari matanya
tlah menulis berlapislapis larat sepucat lantunan obituari
Bilah-bilah kedamaian beranjak,
kicauan buntung     asa puntung
mati terkapar di tanah merah serakah
                         serabut jantungmu

Seandainya kau paham tentang getar cahaya di mata anakmu
kau kan paham juga denyar puisi di hutan ini
yang telah mengaliskan ingatan tentang alinea gairah  pepohonan,
belukar dan kepak sayap yang menjadi ibu bagimu
                           dan bagiku

Desing peluru tlah menghentikan kepak sayap itu
ujung senapanmu menelisik setiap sudut hutan
                              Stagnan.    Retak

Belulang sepi menjulurkan lidah kegelapan di sekujur tubuhnya
Tiada lagi sehimpun puisi tentang derit pagi
atau tentang detak kehidupan yang hidup
Hanya sunyi mengular di belukar dingin
mengunyah angkara dan serakah sekaligus
menjadi seseduh cuka
 ( Tegaljaya, Februari 2016)
 
 
Ni Made Rai Sri Artini

Sekawanan Luka  Bersarang
di Liang Matamu Beku

" Jika aku bisa memilih, suatu saat aku ingin lahir menjadi manusia
bukan menjadi pengadilan bagi hutan-hutan dan isinya namun mencangkokkan cinta di setiap dahan pepohonan."
Rimbun airmata tambun di matamu beku
Hamburan sepi dan ngilu mengular di pembuluh tangis
Mengurai tubuh hutan sawit menjelma asing yang renik
berkas cahaya di belukar hatimu tak untuk sesiapa
Tak jua untuk hidup yang tak pernah kau tahu ujungnya
Kau merebah letih di permadani sawit
mendesing memburu mimpi-mimpi
yang kelam akan pentas darah
Kau tak mampu lagi menjerit atau mendengar sesuara
hanya letupan peluru menulis garis hidupmu
Kau rumahkan harapan pada angin bisu
mengangankan ketenangan laksana senyap embun, kebebasan laksana udara
tak mampu lagi menghitung hari di tempat rehabilitasi
tuk mengusir onggokan tekanan yang melesak ke bilik ingatan
Rumpun puisi  dadamu berhamburan lesat menemui langit
sesedih uap kopi           tanpa kata
lesap ke baitbait angin
menjelma awan-awan pancaroba penuh kerak kesumat
Sekawanan luka bersarang di liang matamu beku
Di bilik  keramat,  sunyi
Tak terjamah apa pun,
Meski hanya kucur kekata atau  bahkan helaan nafas sekalipun
 ( Tegaljaya, Februari 2016)



 
Novia Rika

Di Lengkung Garis Langit Taiga
Di batas cakrawala terentang
Hutan salju remang
Di atas taiga berselimut lumut
Menerang lumut tua yang membusuk
Dimana lengkung krummholz terpahat
     oleh angin putih es
Menyebar tahun demi tahun
Matahari binasa
Di tengah angin malam
Mengekalkan lenggang angin
Dalam percakapan panjang dengan awan
   menari bebas
         menari lepas
Bulu-bulu keperakan bersinar
Di atas pecah matahari yang terbenam
Penyingkapan masa
Di antara batu-batu dimana
pepohonan yang terpencar, belur
Di rimba dataran tak berpohon
Jantung berdetak
Menyentak otot-otot kuat
Melayang di udara
Berlari liar di angin-angin
Di atas stepa tinggi
Melesat pemangsa bernafsu
Dekur lembut burung hantu
Di atas jemari konifer
Mengalun melintasi tanah permafrost
   sebuah lullaby merdu menawan
Kelinci liar menyelinap dalam gelap
Rusa liar merebahkan tanduk di semak dingin
Di atas cadas tepi bukit serigala kelabu berdiri terang
Di bawah rembulan
Melepas mata sengit
Terlampau dingin dari serpih salju
Penguasa tundra yang jauh

Novia Rika P
Bumi Manusia  dan Laga satwa

Permainan warna di punggung bukit
Melukis musim, kering, ranggas
Burung-burung lama t'lah lepas, ke langit
Bermigrasi ke tanah seberang samudera


Hening suara langit
Di pucuk musim, daun-daun gugur ke bumi
Angin kering membunuh semi
Di sudut langit warnanya pun runtuh
Terlecut terik yang menyurutkan mata air

Lebah t'lah gila menghisap bangkai bunga
Kupu-kupu menjilat kulit kayu yang bernanah getah
Kelinci terguling di liang-liang, menangkis mata pemburu
Tupai-tupai hilang di padang rumput gersang

Babi menerjang ladang-ladang
Sapi susut, kambing mengkerut
Rusa-rusa turun ke bumi
Dan harimau mencari mati di mata manusia,
     ganas karena takut,
           takut karena karma menjelma
                 di bumi manusia dan laga satwa
                      berebut kehidupan
Akasia, 4 Agustus 2016





 

Lumbung Puisi Jilid IV



Navys Ahmad


Monolog Para Pembangun Rumah Tanah

saudara-saudara bangsa manusia
berjuta tahun lalu kami membangun rumah tanah
di alas warisan nenek moyang ratu induk
rumah yang menumbuh dari ludah-ludah
yang merekat kuat bertingkat-tingkat
berkamar-kamar yang di dalamnya
kami bertelur, beranak-pinak
cucu-mencucu, cicit-mencicit.

berjuta tahun lalu kami bahu-membahu
kaki-mengkaki, tangan-menangan
dalam racauan kemelut suara alam
dalam tiupan hujan tarian topan
rumah kami tak hancur
rumah kami hanya merapuh.

di alas ini kami taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah pohon
tak ada yang menyembunyikan
tak ada yang mengambil hak bersama
tak ada yang menyakiti saudara.

saudara-saudara bangsa manusia
kami yang bicara sekarang
adalah generasi cicit jutaan tahun
dari cicit cicitnya cicit moyang kami
para pembangun rumah tanah
di alas warisan moyang ratu induk.

di alas baru ini kami tetap taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
kami tetap bahu-membahu
menyatukan tangan dan kaki kami yang kecil
di antara tarian sendok semen
di antara deruan buldozer
di antara derap selinder.

kami sekarang membangun rumah tanah
di atas lantai semen, konblok, tembok
marmer, keramik, granit, plastik
dan kami terus bekerja
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah semen.

kulit jari-jari tangan kami melepuh
gigi-gigi kami gemetar gemeretak
beberapa tanggal gusinya berdarah.

saudara-saudara bangsa manusia
kami para pembangun rumah tanah
telah kehilangan tanah
tapi tak pernah kehilangan
nyala merah dalam darah.

Tangerang, 23-7-2016


 
Navys Ahmad

Salam dari Kami

jika kau tebang ratusan rumah pohon kami
di manakah anak-cucu kami kelak berayun
berloncatan, bahkan terkadang terjatuh

mereka begitu polos tak pernah paham masa depan
tak ambil pusing masalah berat yang menimpa
yang mereka pikirkan adalah bermain dan makan
bermain di atas dedaun rimba raya dan menikmati
hidangan berkah alam raya di bawah kucuran hujan

mereka tidak seperti kami para orang tua yang meratap
meratap pada nasib meratap pada hukum alam keseimbangan

ya, kami telah banyak makan buah kesabaran atas tumbanganya
rumah-rumah harapan kami yang digergaji mesin, dibelah, dihiris
lalu dibawa ke kota-kota peradaban yang melindunghangatkan

anak-anak para penghuninya begitu cinta dan mesra
sedangkan anak-anak cucu kami terpasung di batang hitam
tertusuk asap tebal, terkapar mengerang di hamparan arang.


Ni Made Rai Sri Artini

Balada Jalak Bali

Ingin ku bertanya padamu beberapa hal
tentang duka yang merambati pagar matanya
tentang piala kecemasan yang selalu bertamu di kedua sayap kecilnya

Warna biru yang melingkari matanya
tlah menulis berlapislapis larat sepucat lantunan obituari
Bilah-bilah kedamaian beranjak,
kicauan buntung     asa puntung
mati terkapar di tanah merah serakah
                         serabut jantungmu

Seandainya kau paham tentang getar cahaya di mata anakmu
kau kan paham juga denyar puisi di hutan ini
yang telah mengaliskan ingatan tentang alinea gairah  pepohonan,
belukar dan kepak sayap yang menjadi ibu bagimu
                           dan bagiku

Desing peluru tlah menghentikan kepak sayap itu
ujung senapanmu menelisik setiap sudut hutan
                              Stagnan.    Retak

Belulang sepi menjulurkan lidah kegelapan di sekujur tubuhnya
Tiada lagi sehimpun puisi tentang derit pagi
atau tentang detak kehidupan yang hidup
Hanya sunyi mengular di belukar dingin
mengunyah angkara dan serakah sekaligus
menjadi seseduh cuka
 ( Tegaljaya, Februari 2016)
 
 
Ni Made Rai Sri Artini

Sekawanan Luka  Bersarang
di Liang Matamu Beku

" Jika aku bisa memilih, suatu saat aku ingin lahir menjadi manusia
bukan menjadi pengadilan bagi hutan-hutan dan isinya namun mencangkokkan cinta di setiap dahan pepohonan."
Rimbun airmata tambun di matamu beku
Hamburan sepi dan ngilu mengular di pembuluh tangis
Mengurai tubuh hutan sawit menjelma asing yang renik
berkas cahaya di belukar hatimu tak untuk sesiapa
Tak jua untuk hidup yang tak pernah kau tahu ujungnya
Kau merebah letih di permadani sawit
mendesing memburu mimpi-mimpi
yang kelam akan pentas darah
Kau tak mampu lagi menjerit atau mendengar sesuara
hanya letupan peluru menulis garis hidupmu
Kau rumahkan harapan pada angin bisu
mengangankan ketenangan laksana senyap embun, kebebasan laksana udara
tak mampu lagi menghitung hari di tempat rehabilitasi
tuk mengusir onggokan tekanan yang melesak ke bilik ingatan
Rumpun puisi  dadamu berhamburan lesat menemui langit
sesedih uap kopi           tanpa kata
lesap ke baitbait angin
menjelma awan-awan pancaroba penuh kerak kesumat
Sekawanan luka bersarang di liang matamu beku
Di bilik  keramat,  sunyi
Tak terjamah apa pun,
Meski hanya kucur kekata atau  bahkan helaan nafas sekalipun
 ( Tegaljaya, Februari 2016)



 
Novia Rika

Di Lengkung Garis Langit Taiga
Di batas cakrawala terentang
Hutan salju remang
Di atas taiga berselimut lumut
Menerang lumut tua yang membusuk
Dimana lengkung krummholz terpahat
     oleh angin putih es
Menyebar tahun demi tahun
Matahari binasa
Di tengah angin malam
Mengekalkan lenggang angin
Dalam percakapan panjang dengan awan
   menari bebas
         menari lepas
Bulu-bulu keperakan bersinar
Di atas pecah matahari yang terbenam
Penyingkapan masa
Di antara batu-batu dimana
pepohonan yang terpencar, belur
Di rimba dataran tak berpohon
Jantung berdetak
Menyentak otot-otot kuat
Melayang di udara
Berlari liar di angin-angin
Di atas stepa tinggi
Melesat pemangsa bernafsu
Dekur lembut burung hantu
Di atas jemari konifer
Mengalun melintasi tanah permafrost
   sebuah lullaby merdu menawan
Kelinci liar menyelinap dalam gelap
Rusa liar merebahkan tanduk di semak dingin
Di atas cadas tepi bukit serigala kelabu berdiri terang
Di bawah rembulan
Melepas mata sengit
Terlampau dingin dari serpih salju
Penguasa tundra yang jauh

Novia Rika P
Bumi Manusia  dan Laga satwa

Permainan warna di punggung bukit
Melukis musim, kering, ranggas
Burung-burung lama t'lah lepas, ke langit
Bermigrasi ke tanah seberang samudera


Hening suara langit
Di pucuk musim, daun-daun gugur ke bumi
Angin kering membunuh semi
Di sudut langit warnanya pun runtuh
Terlecut terik yang menyurutkan mata air

Lebah t'lah gila menghisap bangkai bunga
Kupu-kupu menjilat kulit kayu yang bernanah getah
Kelinci terguling di liang-liang, menangkis mata pemburu
Tupai-tupai hilang di padang rumput gersang

Babi menerjang ladang-ladang
Sapi susut, kambing mengkerut
Rusa-rusa turun ke bumi
Dan harimau mencari mati di mata manusia,
     ganas karena takut,
           takut karena karma menjelma
                 di bumi manusia dan laga satwa
                      berebut kehidupan
Akasia, 4 Agustus 2016